Monday, June 28, 2010

Permenungan Eksistensial 3; Pagar, Batasan dan Kesenjangan

Aku makan siang di luar hari ini. Tak mau jauh-jauh, lokasi makan hanya di seberang gereja. Memang, aku bisa memesan makanan dan membawanya masuk kantor gereja. Namun, entah mengapa, siang itu aku ingin makan di luar. Di tengah debu dan polusi Jakarta. Di tengah orang-orang asing, yang sedang merehatkan diri mereka sejenak dari penat pekerjaan. Aku duduk diam sendirian, sambil menghirup manisnya es jeruk. Sebagaimana yang selalu terjadi di waktu-waktu refleksi sendirian seperti ini. Ada realitas yang terimajinasi di alam pikiran. Ada kesadaran yang menapaki jiwa dan kehidupan.

Gereja, dipagari oleh pagar besi setinggi dua meter. Menghalangi orang masuk, dan mengambil barang-barang gereja. Dimana-mana, apalagi di kota besar, sering gereja membentengi diri dengan tembok atau pagar tinggi. Memang demikianlah fungsinya, pagar sebagai pembatas. Pembatas, agar mereka yang di dalam bisa hidup dengan aman dan nyaman. Pembatas, agar mereka yang di luar tak bisa masuk dan mengganggu. Fungsi asalinya nampaknya telah tergapai penuh.

Namun, ada realitas lain yang terungkap di dalam pagar pembatas itu. Dua dunia yang terpisah jauh. Dunia religius gereja. Dunia sekularitas yang nyata. Kontras? Memang demikian. Di gereja, mereka yang ada di dalamnya seolah hidup dengan “damai sejahtera.” Persekutuan doa, ibadah, puji-pujian, penyembahan, apalah. Sepertinya, ada rentang jauh antara kehidupan mereka yang ada di dalam gereja dengan the other, liyaning liyan, mereka yang berbeda, karena hidup di dunia “luar.” Dunia sekularitas, hidup di dalam perputaran waktu dan keadaannya sendiri. Mungkin, sudah tak terlalu peduli lagi dengan Tuhan, agama, dan religiusitas. Benarkah ada kesenjangan antara dua dunia ini? Nampaknya memang demikian. Istilah teologis-filosofis apa yang dapat merangkumkan kondisi ini? Aku tidak tahu.

Karena itulah, kadang-kadang, aku ragu untuk terus bergerak dan menjadi dalam komunitas gereja. Namun, pada faktanya gereja punya kekuatan yang cukup besar untuk memulai pergerakan perubahan revolusioner di dunia ini. Kesenjangan antara dua dunia itu bisa diselesaikan, dengan gereja memakai kekuatan tersembunyinya untuk melakukan “sesuatu.” Sesuatu yang bukan sekedar didasari teologi retribusi kuno abad pertengahan itu. Tapi, berdasarkan semangat Yesus, semangat yang diungkapkan-Nya dalam hidup-Nya, salah satunya, dengan keberadaan meja egalitarian yang Ia wujudkan. Semangat yang berjuang untuk membawakan “Tuhan” di dalam dunia nyata. Maukah gereja bergerak dalam langkah kongkrit, dan bukan abstraksi teoritis, sebagaimana yang selama ini tergambar dalam jurnal-jurnal teologi, mau pun mimbar-mimbar gereja, untuk dapat mengatasi kesenjangan dua dunia ini? “Religious leader, always has a big influence, to interrupting the people, about how can, or how must the people or person, knows their God and what they do with that.” Tulisku –dengan perbubahan- di status Facebook beberapa waktu yang lalu. Jelaslah bagi kita, tugas pemimpin religius-lah, melakukan dan menyadarkan itu semua. Bagaimana?

No comments: