Wednesday, January 6, 2010

kematian

kok tiba-tiba ingin mati..
tak ingin hidup..
tak ingin berlari,.
tak ingin melihat..
tak ingin merasa..,
tak ingin mencerap..
tak ingin berkata..
tak ingin mendengar.
tak ingin berjalan.,
tak ingin menjadi manusia.,
tak ingin berpikir.,

aku lelah,
lelah untuk hidup.,.
lelah untuk mencari kebertuhanan..
lelah untuk menjadi manusia..

aku ingin mati..
barangkali, kematian akan jauh lebih nikmat daripada kehidupan??

Monday, January 4, 2010

perasaan dekat dengan kematian








Kemarin pagi aku pergi ke sebuah ibadah perkabungan seorang kerabat yang meninggal. Sebagaimana yang selalu aku rasakan ketika aku mengalami momen-momen sedemikian, aku mendapati diriku di dalam keheningan, sebuah momen eksistensial, yang hanya aku sendiri yang tahu dan merasakannya. Ketika peti mati jenazah dikeluarkan dari bus jenazah tiba-tiba aku terserang perasaan yang aneh, menggelayuti resah dan kegundahan jiwa. Seolah-olah aku yang berada di dalam peti itu, merasakan kegelapan dan kesepian. Kemudian, ketika peti diangkat dan ditempatkan di atas liang lahat, aku merasakan perasaan yang sama: aneh, fobia terhadap penguburan barangkali, tiba-tiba aku ketakutan, bagaimana jika aku ada di dalam sana?

Sang Pendeta dengan tubuh gembrotnya [heran, pendeta kok makmur banget ya?] yang memimpin ibadah perkabungan, dengan baju hitam dan dasi putih kecil itu pun memulai ibadah perkabungan. Pengakuan iman rasuli sebagai tanda proklamasi iman Kristen, nyanyian-nyanyian penghiburan yang memberikan pengharapan akan kedartangan Kristus dan kekuatan hidup yang diperoleh daripada Roh-Nya, serta doa penghiburan untuk keluarga pun dinaikkan oleh para pelawat. Sampai pada akhirnya Sang pendeta mengucapkan kata amin, sebagai tanda berakhirnya ibadah perkabungan tersebut. Sepanjang ibadah itu, aku berdiri tepat dekat di samping liang lahat, menatap lamat-lamat ke dalam liang tersebut, mencoba mengurai makna perasaan janggal dan aneh yang menggelayuti sukma ini. Sepanjang ibadah itu memang aku turut menyanyi, menaikkan kidung pujian dan turut menutup mata memohon kepada Sang Khalik bagi penghiburan atas keluarga yang ditinggalkan, namun sepanjang itu pula aku tak henti-hentinya gelisah, mengenai perasaan aneh ini.

kemudian, moment menabur bunga pun sampai, keluarga dekat dan para pelayat yang datang menabur bunga ke dalam liang lahat sebelum peti jenazah ditenggelamkan. entah kenapa, kakiku berada dekat dengan liang lahat, namun aku tak berani, tak sampai hatiku mengambil bunga dan menaburkannya ke dalam liang lahat. Akh! dalam batinku muncul pertanyaan menggelitik: sesungguhnya darimana muncul tradisi tabur bunga? apakah orang jawa dan indonesia secara keseluruhan punya tradisi tabur bunga di dalam penguburan orang yang sudah meninggal? atau kah itu tradisi bawaan dari Eropa sana? aku surutkan pertanyaan-pertanyaan itu dalam lubukku, bukan saat yang tepat untuk memikirkannya, barangkali nanti kalau ada kesempatan, pertanyaan yang dekat dengan studi aspek-aspek kebudayaan dan tradisi ini akan kucoba mencari jawabannya.

Akhirnya, momen puncak telah tiba, peti jenazah itu akan ditenggelamkan ke dalam lubang kegelapan, lubang kematian, lubang yang menandakan berakhirnya sebuah kehidupan, sebuah tanda bahwa manusia sebagai ciptaan adalah terbatas, tak sanggup menghadapi kenyataan Sang Pencipta yang mengambil nyawa, mencabut nafas dan mengembalikan manusia ke dalam debu tanah. Perlahan-lahan peti diturunkan dengan awas oleh petugas-petugas pemakaman, diletakkan dengan tepat dan penuh kehati-hatian. Pada akhirnya, peti jenazah itu pun sampai ke dasar liang, dan tanah-tanah kuburan pun di lemparkan ke atasnya, menutupnya, menandai usainya deru penguburan jenazah. Selama momen itu, aku hanya diam, melihat, meresapi dan menyayati diri dengan sebuah kegundahan: akh? bagaimana jika aku yang meninggal? bagaimana jika aku yang ditangisi? bagaimana jika beberapa tahun lagi, akh bukan! entah esok lusa, esok hari, bahkan nanti siang ini! aku yang meninggal, mati terbujur kaku dalam ketidakmampuan! Inilah perasaan yang seringkali aku alami ketika ikut sebuah kebaktian perkabungan atau melayat pemakaman seseorang, sebuah perasaan, perasaan dekat dengan kematian.

perasaan ini membuatku ngeri dan selalu tersadar akan beban berat yang ada di pundak seorang anak manusia sepertiku. bahwasanya hidup harus dilakoni sedemikian rupa agar tak menjadi hampa dan sia-sia belaka. agar ketika pada gilirannya nanti, aku yang berada di dalam peti, dikubur ke dalam liang lahat, aku boleh dikenang, tak sebagai seorang pembangkang hidup yang menjalani hidup dengan ketidakberartian, yang beriman namun tak mengimani keberimanan. namun sebagai seseorang yang menjalani hidup dengan bela-rasa dan solidaritas kepada kemanusiaan, menjalankan proyek-proyek bermakna, serta mempengaruhi kehidupan.

asal tahu saja, aku tak terlalu peduli dengan kehidupan setelah kematian, karena bagiku iman Kristen tidaklah berbicara dengan dunia setelah manusia mati, pengharapan-pengharapan surga yang idealistis, dan melenakan manusia dari tuntutan kehidupan masa kini. bagiku iman Kristen berbicara mengenai aspek-aspek dunia kekinian, bagaimana manusia hidup selayaknya manusia. Bagaimana manusia hidup dengan orientasi Ilahi yang membawa kehidupan ke arah yang lebih baik demi hadirnya kemaslahatan umat manusia, gambaran ideal kehidupan, yang disebut orang Kristen Kerajaan Allah, yang disebut orang-orang Marxist sebagai masyarakat sosialis. entah ada tidak sebutan yang lain untuk menandakan dunia tersebut. demikianlah aku memandang dunia dan kehidupan ini. meski kadang-kadang aku gelisah dan mengalami 'perasaan dekat dengan kematian', aku tidak takut dengan kematian itu sendiri. yang aku takutkan adalah ketika aku hidup dengan kesia-siaan, dengan ketidakbermaknaan, dengan orientasi yang egoistis, tak peduli kepada orang lain, dan (apalagi) juga kepada Tuhan..

"dan debu kembali menjadi tanah seperti semula dan roh kembali kepada Allah yang mengaruniakannya"
Pengkotbah 12:7


bayangkan jika kita yang ada di dalam peti mati, bayangkan jika kita yang dikubur ke dalam liang kegelapan. kalau manusia dapat tergiang terus bayangan dekat dengan kematian itu, manusia tidaklah layak untuk sombong dan seenaknya dalam menulis kehidupannya!

karena sungguh, tugas kita yang hidup di dunia ini adalah hidup dengan kebermaknaan! kebermaknaan di dalam kasih yang suci dan motivasi tulus dalam nurani!