Monday, June 28, 2010

Antara Andrea Hirata, Kopi dan Tuhan





Sejak kemarin aku membaca dan menghabiskan novel terbaru dari salah satu sastrawan Indonesia yang aku kagumi: Andrea Hirata. Ya, aku suka membaca. Dari buku teologi yang bersifat abstraksi, sampai novel-novel roman, sentimentil, serta spiritual. Ayu Utami, Dewi Lestari, dan Andrea Hirata sendiri, adalah sebagian dari penulis Indonesia yang aku sukai. Ditengah penatnya memikirkan teologi ilmiah dan teologi jemaat yang tak kunjung usai, membaca buku-buku mereka bisa menjadi petualangan spiritual alternatif bagi diriku sendiri. Kali ini, isi buku dwilogi terbaru Andrea Hirata, “Padang Bulan dan Cinta dalam Gelas” adalah teman penghibur di tengah padatnya gerak lari kehidupan Ibukota, di dalam tak hentinya perdebatan teologi-filosofis yang aku ikuti. Ya, ingin sedikit kuberbagi, di tengah kesempatan ini pula, aku ingin membagi mengenai kopi!



Teman-teman terdekatku pasti sudah tahu kalau aku sangat suka kopi. Sejak umur 12 tahun aku sudah suka kopi. Kopi apa pun aku sukai. Dahulu kala, aku sering meminum secangkir kopi bersama ayahku ditemani papan catur, sungguh itu adalah momen yang tak akan kulupakan! Nah, lalu apa hubungannya novel Andrea Hirata dengan kopi? Tak lain, karena buku kedua “Cinta Dalam Gelas”-nya, menceritakan satu tokoh, Ikal, yang bekerja sebagai pelayan di warung kopi. Yang kemudian, menciptakan studi kultural dan antropologikal, hanya berdasarkan cara orang minum kopi! Aku enggan untuk menceritakan seluruh isi novel ini, aku menyarankan kalian membacanya sendiri, apalagi bagi mereka yang menikmati kopi. Oh ya, terus terang, dwilogi ini mengandung beberapa hal yang aku cintai di muka bumi ini: kopi, belajar, dan permainan catur!


Nah, daripada terus-terusan memuji novel ini, aku ingin kalian menyimak sepenggal puisi dalam novel ini, judulnya:


Peluk.

Disebabkan karena kau terlalu malu

Dengan penuh gengsi kau berbalik,

dia pun berlalu

Rasakan itu olehmu, sekarang baru kau tahu

Bahwa semua keindahan di dunia ini

berkelebat dengan cepat

dan hukum-hukum Tuhan ditulis

sebelum telepon dibuat

Orang-orang indah yang kautemukan di pasar,

Stasiun, terminal, dan tikungan

Kekasih, kemewahan mutiara raja brana,

Kemilau galena dan intan berlian

Semuanya akan meninggalkanmu

Kecuali secangkir kopi

Dia ada di situ, tetap di situ, hangat,

dan selalu dapat dipeluk



Perhatikan, baik-baik. Betapa memaknanya barisan puisi ini. Tidak ada yang bisa setia di muka bumi ini. Kekasih hati, wanita yang kepadanya kita akan selalu merindu, atau pria yang pada hatinya jiwa kita berpaut, bisa meninggalkan kita semena-mena. Tanpa ampun. Membuat letupan-letupan kepedihan di dalam hati. Menolak untuk dipeluk, memberontak untuk digenggam. Ya, kekasih, seperti kata Andrea, akan meninggalkanmu. Apa lagi? Semua keindahan di dunia ini, berkelebat dengan cepat! Memang demikian, dari usia yang muda, tiba-tiba kita dewasa, menjadi tua, kemudian layu, kusut tak mampu lagi berjalan untuk menantang dunia. Kekuatan tubuh pun akan meninggalkan kita. Harta? Apa lagi. Sedemikian cepat mendekapnya, sedemikian cepat ia bisa saja hendak melarikan diri dari kita. Semua, semua, dan semua, bisa saja tiba-tiba meninggalkan kita. Sahabat terdekat pun, bisa membuat kita terlarut dalam kesendirian, ketika ia meninggalkan kita, untuk mengurusi hidupnya sendiri. Semuanya akan meninggalkanmu.


Tidak demikian dengan secangkir kopi. Dia ada di situ, tetap di situ, hangat, dan selalu dapat dipeluk. Memang sedikit hiperbol! Namun bagi pecinta kopi, ini adalah fakta yang tak terbantahkan. Secangkir kopi, bisa mewarnai hidup ini. Jika hidup ini sedang pahit, secangkir kopi pahit akan menjadi teman yang membuat lara itu terlewati. Jika hati tak bersemangat untuk bekerja dan menjejakkan kaki dalam ruang kehidupan yang penat, kafein yang ada dalam kopi, akan memberikan efek yang cukup selama 15 menit, untuk kembali membakar raga melawan kehidupan.


Ya, kafein, yang adalah senyawa kimia alkaloid, yang dinamakan dengan nama ilmiah: trimentilsantin, berfungsi untuk membalikkan senyawa adenosin. Senyawa adenosin, adalah senyawa yang punya efek “membuat malas” pada tubuh manusia, untuk punya keinginan cepat tidur, memperlambat kinerja saraf otak, dan membuat tubuh merasa lelah. Kafein membalikkan fungsi itu, membuat saraf menjadi segar, memacu produksi hormon adrenalin, mata terbuka, jantung menjadi berdegup kencang. Tekanan darah naik, otot-otot berkontraksi, dan hati akan melepas gula ke aliran darah menjadi energi ekstra untuk bekerja! Mantap bukan?


Hangatnya secangkir kopi akan membuat hati yang gelisah menjadi tentram. Bahkan, sebagai social drink, kopi bisa menjadi kawan ngobrol dengan sahabat-sahabat, sembari mencari jawaban bersama-sama atas berbagai macam pergumulan hidup. Itulah kopi. Dan perhatikan baik-baik, secangkir kopi tidak akan meninggalkan kita. Ia akan bersedia untuk dipeluk hangatnya, tak akan pergi sampai ia habis masuk ke dalam kerongkongan. Ia akan terus disitu, menemani kita sebagai kawan baik, mungkin, mendengarkan keluh-kesah hidup kita. Itulah yang terjadi dalam hidupku. Di tengah kesendirian di malam hari, kopi adalah kawan baik. Kopi adalah inspirasi malah, kata seorang kawan. Kukutip lagi Andrea: “Hanya segelas kopi yang tak pernah banyak tingkah!” Memang benar, segelas kopi akan selalu duduk setia, menemani penggemarnya. Tak banyak tingkah, hanya memberikan semangat melalui kafein yang terkandung di dalamnya. Pujaan hati bisa saja mengecewakan kita, sahabat bisa saja mengecewakan kita, keluarga juga bisa saja mengecewakan kita. Tetapi, secangkir kopi yang diracik sesuai dengan keinginan hati, diramu dengan takaran kopi dan gula yang pas, tak akan pernah mengecewakan kita.


Demikianlah jika kita punya Tuhan. Yesaya 4: 46 menuliskan “Sampai masa tuamu Aku tetap Dia dan sampai masa putih rambutmu aku menggendong kamu. Aku telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus; aku mau memikul kamu dan menyelamatkan kamu”

Itulah janji Tuhan dalam kehidupan umat percaya. Tidak akan pernah meninggalkan kita, bahkan ketika raga kita tak lagi mampu berdiri melayani. Tidak akan pernah mengecewakan kita, walau sering kita mengecewakan Dia. Kutemukan sedikit persamaan kopi dengan salah satu karakter Tuhan. Dia ada di situ, tetap di situ, hangat, dan selalu dapat dipeluk. Tuhan selalu setia bersama-sama dengan kita, dengan hangat, memeluk kita dengan dekapan yang erat, membua hati manusia selalu tenteram di tengah pergolakan badai hidup! Kalau demikian adanya, sungguh, mengapa kita perlu takut menjalani kehidupan ini? Mengapa kita perlu lesu untuk menderu kencang dalam perlombaan kehidupan ini? Sebagaimana kopi dengan kafeinnya, Tuhan, adalah Sosok yang terus berdiri bersama-sama dengan kita, memberikan semangat, agar kita menyelesaikan tugas yang Ia berikan bagi setiap kita di dunia ini. Senyawa adenosin, bisa disamakan dengan keputus asaan, kepahitan hati, kekecewaan, dan banyak hal yang lain, yang membuat hidup jadi tak bersemangat. Kesadaran bahwa Tuhan bersama-sama dengan kita seharusnya mampu membalikkan itu semua. Membuat kita menjadi manusia yang tegak berdiri menantang hidup!


Ya, itulah, kaitan antara novel terbaru Andrea Hirata, kopi dan teologi. Mengapa aku memberi judul demikian dalam notes ini? Mestinya kawan-kawan sudah mengerti. Mari bersama-sama terus menyeruput kopi, mencari inspirasi, mencari kekuatan yang dari pada-Nya untuk setiap kita!

Sebelum berakhir, ingin kusitir lagi kalimat Andrea: “Adapun mereka yang sama sekali tidak minum kopi adalah penyia-nyia hidup ini.” Walah! Siapa diantara kawan-kawan yang belum minum kopi? Andrea memvonis bahwa saudara-saudara adalah orang yang menyia-nyiakan hidup ini! Alamak! Betapa ternistanya orang yang hidup dengan sia-sia! He he he..


Salam hangat dari Taman Tanah Abang 3, Jakarta Pusat.

The True Evangelical Faith


Selama ini aku mencoba merenungkan, apa yang disebut "Injili". dan ketika aku berada di gereja Mennonite. Aku temukan jawabannya, singkat, namun padat mengena. Jawaban dari seorang Menno Simmons. Inilah mengapa aku akhir-akhir ini menggemakan teologi mennonite. Coba perhatikan syair dari lagu "The True Evangelical Faith" karyanya,

True evangelical faith cannot lie dormant.
It clothes the naked.
It feeds the hungry.
It comforts the sorrowful.
It shelters the destitute.
It serves those that harm it.
It binds up that which is wounded.
It has become all things to all people."


Ya, itulah Iman Injili yang sejati. Bukan hanya bicara aspek-aspek doktrinal, yang seringkali membosankan, namun bertindak dalam praksis menurut Yesus dari Nazaret, Tuhan, Guru dan junjungan kita!


Salam dari Taman Tanah Abang 3, Jakarta Pusat,

Permenungan Eksistensial 3; Pagar, Batasan dan Kesenjangan

Aku makan siang di luar hari ini. Tak mau jauh-jauh, lokasi makan hanya di seberang gereja. Memang, aku bisa memesan makanan dan membawanya masuk kantor gereja. Namun, entah mengapa, siang itu aku ingin makan di luar. Di tengah debu dan polusi Jakarta. Di tengah orang-orang asing, yang sedang merehatkan diri mereka sejenak dari penat pekerjaan. Aku duduk diam sendirian, sambil menghirup manisnya es jeruk. Sebagaimana yang selalu terjadi di waktu-waktu refleksi sendirian seperti ini. Ada realitas yang terimajinasi di alam pikiran. Ada kesadaran yang menapaki jiwa dan kehidupan.

Gereja, dipagari oleh pagar besi setinggi dua meter. Menghalangi orang masuk, dan mengambil barang-barang gereja. Dimana-mana, apalagi di kota besar, sering gereja membentengi diri dengan tembok atau pagar tinggi. Memang demikianlah fungsinya, pagar sebagai pembatas. Pembatas, agar mereka yang di dalam bisa hidup dengan aman dan nyaman. Pembatas, agar mereka yang di luar tak bisa masuk dan mengganggu. Fungsi asalinya nampaknya telah tergapai penuh.

Namun, ada realitas lain yang terungkap di dalam pagar pembatas itu. Dua dunia yang terpisah jauh. Dunia religius gereja. Dunia sekularitas yang nyata. Kontras? Memang demikian. Di gereja, mereka yang ada di dalamnya seolah hidup dengan “damai sejahtera.” Persekutuan doa, ibadah, puji-pujian, penyembahan, apalah. Sepertinya, ada rentang jauh antara kehidupan mereka yang ada di dalam gereja dengan the other, liyaning liyan, mereka yang berbeda, karena hidup di dunia “luar.” Dunia sekularitas, hidup di dalam perputaran waktu dan keadaannya sendiri. Mungkin, sudah tak terlalu peduli lagi dengan Tuhan, agama, dan religiusitas. Benarkah ada kesenjangan antara dua dunia ini? Nampaknya memang demikian. Istilah teologis-filosofis apa yang dapat merangkumkan kondisi ini? Aku tidak tahu.

Karena itulah, kadang-kadang, aku ragu untuk terus bergerak dan menjadi dalam komunitas gereja. Namun, pada faktanya gereja punya kekuatan yang cukup besar untuk memulai pergerakan perubahan revolusioner di dunia ini. Kesenjangan antara dua dunia itu bisa diselesaikan, dengan gereja memakai kekuatan tersembunyinya untuk melakukan “sesuatu.” Sesuatu yang bukan sekedar didasari teologi retribusi kuno abad pertengahan itu. Tapi, berdasarkan semangat Yesus, semangat yang diungkapkan-Nya dalam hidup-Nya, salah satunya, dengan keberadaan meja egalitarian yang Ia wujudkan. Semangat yang berjuang untuk membawakan “Tuhan” di dalam dunia nyata. Maukah gereja bergerak dalam langkah kongkrit, dan bukan abstraksi teoritis, sebagaimana yang selama ini tergambar dalam jurnal-jurnal teologi, mau pun mimbar-mimbar gereja, untuk dapat mengatasi kesenjangan dua dunia ini? “Religious leader, always has a big influence, to interrupting the people, about how can, or how must the people or person, knows their God and what they do with that.” Tulisku –dengan perbubahan- di status Facebook beberapa waktu yang lalu. Jelaslah bagi kita, tugas pemimpin religius-lah, melakukan dan menyadarkan itu semua. Bagaimana?

Saturday, June 5, 2010

On The Road; Jakarta, 6 Juni


Hari ini aku mengikuti pelayanan bagi-bagi nasi bungkus sekitar 200-an kepada orang-orang yang hidup di jalanan, mereka yang tidur di kolong-kolong jembatan dan emperan toko adalah sasaran utama pelayanan ini. Bagi-bagi nasi bungkus (yang dikerjakan sendiri, bersama dengan teman-teman, sehingga sepanjang malam kami harus lembur), dimulai pada pukul 14.00 siang. Hujan yang turun di bumi Ibukota yang penat ini tidak menyurutkan tekad kami untuk melakukan pelayanan yang sudah mendapatkan dukungan penuh dari gereja ini. Team kami yang terdiri 5 orang pun berangkat.

Secara pribadi, hatiku bergelora dengan amat sangat, karena sejak memahami bahwa Yesus dari Nazaret yang aku ikuti adalah seorang manusia yang punya perhatian pada kondisi sosial-ekonomi-politik pada masanya, aku bertekad untuk mengikuti Dia sepenuh-penuhnya dengan melakukan praksis hidup yang seturut dengan jalan yang Ia telah tempuh. Pelayanan kali ini bisa jadi sebuah langkah awal untuk melakukan sesuatu yang lebih besar di masa depan. Sesuatu yang telah kurindukan sejak berbulan-bulan yang lalu semenjak membaca buku karangan Richard Horsley, Jesus and Empire. Serta membuat esay untuk Perkantas, yang berjudul "Visi Komunitas Alternatif aLa Yesus dari Nazaret." Dan dilanjutkan pula dengan karya-karya Moltmann. Hatiku terus bekerja bersama dengan rasio ku untuk terus memikirkan, dengan jalan bagaimana iman Kristen bisa mematahkan, memutarbalikkan sistem dominasi, sistem yang membuat adanya dosa struktural, yakni kemiskinan, ketidakadilan sosial, kondisi yang menguntungkan bagi kaum kaya, dan merugikan kaum miskin. Sistem yang terlampau berpihak kepada penindasan dan tidak pernah berpihak kepada mereka yang tertindas, Mereka yang liyan, mereka yang terpinggirkan, mereka yang tak diperhatikan, mereka selalu tertindas dan teraniaya. Sehingga, iman Kristen, -dalam hal ini, gereja- benar-benar bisa menghadirkan Kerajaan Allah, shalom bagi semua umat manusia yang ada di muka bumi ini! Bagiku, gereja yang hampir selalu menekankan "surga di atas sana", belum cukup perhatian untuk memikirkan hal tersebut. Seminari teologi juga rasa-rasanya tak acuh, untuk mendidik mahasiswanya memiliki kesadaran dan perhatian bagi mereka, the other, mereka yang tertindas dan teraniaya.

Kami pun mulai menyusuri jalanan-jalanan Ibukota, membagi-bagikan nasi bungkus itu kepada ibu-ibu yang ada di perempatan lampu merah. Bapak-bapak yang disebut "manusia gerobak", yakni pemulung. Anak-anak jalanan yang tinggal di kolong jembatan. Satu keluarga yang tinggal di emperan toko juga sempat kami kunjungi. Sungguh, hatiku menangis dengan amat pedih ketika melihat wajah mereka. Wajah yang tak punya pengharapan, kawan mereka adalah sakit-penyakit. Ada satu anak yang cacat bernama Eva, yang sedang sakit campak. Hatiku meringis ketika kami akan pulang dan ia minta agar aku mendoakannya. Bibirku bergetar ketika aku mendoakannya, dan dalam hati aku bertanya, "Tuhan, mengapa harus mereka!." Sungguh, kalau bukan kita yang turun tangan, siapa lagi?! Melihat sekeliling mereka, nyata-nyata bahwa hidup dan mati mereka akan berakhir di situ. Tak akan beranjak dari kolong jembatan, tak akan beranjak dari emperan toko. Entah, sampai keturunan keberapa mereka akan menjadi korban dari sistem ekonomi Kapitalis yang melanda negara kita!

Rabi Yahudi revolusioner abad pertama itu pernah mengatakan, ”Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku (Matius 25:4). " Kalimat retoris dari Sang Guru itu menunjukkan bahwa ketika orang-orang yang mengaku murid-Nya, melakukan sesuatu bagi mereka yang tertindas dan teraniaya, berarti mereka sedang melakukan sesuatu bagi Dia sendiri. Hatiku semakin rindu untuk melakukan sesuatu yang lebih besar bagi mereka, kaum tertindas dan teraniaya. Hatiku semakin rindu, untuk menemukan cara, bagaimana kultur dominasi yang menjajah negeri ini dapat dilawan!

Jujur saja, menurutku, ketika gereja melakukan sesuatu bagi mereka, kaum tertindas dan teraniaya, masih berada di permukaan. Ketika Natal, Paskah dan momen-momen yang lain, gereja memang sering melakukan tindakan bakti sosial, ya, sejenis dengan bagi-bagi nasi bungkus tadi. Tapi semestinya gereja perlu melakukan lebih jauh daripada itu! Lebih jauh daripada sekedar memberitakan: “Yesus, Juruselamat Dunia, kalau anda percaya kepada-Nya, anda akan masuk surga.” Itu memang tujuan yang mungkin paling fundamental. Tapi seperti yang pernah kutulis dalam notesku sebelumnya yang berjudul “Yesus:Transformasi”. Tidaklah cukup dengan mewartakan Yesus dengan dasar teologi pendamaian-subtisuti-retribusi! Transformasi yang dikerjakan di dalam nama Yesus, melalui praksis gereja, juga harus menangkap aspek kehidupan manusia secara keseluruhan. Mengangkat mereka yang tertindas, hingga mendapatkan hidup yang bermartabat, sederajat, dan mampu berjalan tegak di samping manusia-manusia yang lain!

Entah, jalan apa yang gereja harus tempuh untuk mengatasi hal demikian, dan mencapai apa yang kumaksud di atas: yakni adanya Transformasi secara keseluruhan! Mungkin, perubahan paradigma berteologi gereja dan jemaat, adalah satu dasar yang perlu diupayakan! Karena akar dari sejumlah praksis adalah sebuah ideologi. Kini, di tengah kegalauan dan kebingungan hati, aku mengundang kita semua untuk berupaya memikirkanya!

This is My Way; I Love My Way

Sudah.., sudah ku katakan (sudah ku katakan)
Sudah.., sudah ku jelaskan (sudah ku jelaskan)


Dari dahulu aku memang suka jalan ini
Tak perlu kau tanyakan lagi mau kemana
Segala problema, juga resikonya kan kuhadapi
Jangan rayu lagi untuk mencoba jalan yang lain


This is my way.. (This is my way)
I love my way.. (I love my way)
This is my way.. (This is my way)
I love my way.. (I love my way)


Dari dahulu aku memang suka jalan ini
Tak perlu kau tanyakan lagi mau kemana
Segala problema, juga resikonya kan kuhadapi
Jangan rayu lagi untuk mencoba jalan yang lain


This is my way.. (This is my way)
I love my way.. (I love my way)
This is my way.. (This is my way)
I love my way.. (I love my way)


Sudah.. (This is my way)
Sudah ku katakan (sudah ku katakan)
Sudah.. (This is my way)
Sudah.. (sudah ku jelaskan)
Sudah ku jelaskan (sudah ku jelaskan)
This is my way.. (this is my way)
I love my way (I love my way)
This is my way.. (this is my way)
I love my way (I love my way)


Barusan aku Download lagu Reggae dari Tony Q Rastafara ini. Ternyata, di kala hati sedang gundah gulana mengenai jalan hidup yang sedang kutempuh, Legenda Reggae Indonesia itu menghibur lara, dan memberi seutas jawab yang membesarkan hati. Bayangkan, Reggae adalah jenis musik yang asing di telinga masyarakat Indinesia, tapi (barangkali) Tony Q tetap menempuh jalur aliran musik yang demikian, karena ia sadar, bahwa ia mencintai jalan hidup, jalur musik yang sangat ia cintai. Hingga ia mengatakan: "Dari dahulu aku memang suka jalan ini. Tak perlu kau tanyakan lagi mau kemana. Segala problema, juga resikonya kan kuhadapi.Jangan rayu lagi untuk mencoba jalan yang lain. Akh! Inspiring banget deh!

Setiap manusia mempunyai jalan hidup yang ia pilih masing-masing. Jalan hidup itu adalah jalan yang terbaik yang paling mungkin untuk mengekspresikan identitas diri dari seorang manusia. Jalan hidup terbaik untuk menyatakan eksistensi Das Sein di tengah dunianya. Bagiku, aku sudah memilih sebuah jalan, jalan yang berat, jalan yang terlampau berbeda dengan dunia. Jalan itu adalah jalan dari Yesus orang Nazaret. Menjadi pengikut Yesus, yang aku akui sebagai Tuhan dan Juruselamat, adalah pilihan yang telah aku tentukan, dan aku tidak mau ragu lagi dengan jalan ini. ya, I Love My Way Jalan ini, sebagaimana dalam notes sebelumnya, adalah jalan yang berupaya untuk mengupayakan satu hal: adanya Transformasi Kehidupan!. Adanya perbaikan hidup umat manusia. Adanya pertobatan, yakni kembalinya manusia ke wajah Allah. Kembalinya manusia dari sikap-sikap individualis, sikap egoistis, sikap yang mengisap manusia yang lain, dan mencari keuntungan bagi dirinya sendiri, menuju sikap hidup yang berlandaskan kepada kasih, egaliterian, keadilan dan kebenaran. Sungguh! This is My Way!

Jadi, adakah diantara pembaca yang sedang kebingungan bagaimana menempuh hidup di dunia, dengan tangan terbuka aku mengundang kalian untuk bersama-sama dengan aku, menempuh jalan hidup yang berlandaskan praksis Yesus dari Nazaret! Jalan yang (menurutku) terbaik demi masa depan dunia!

Dan, jika ada pembaca yang bersama-sama dengan aku, menempuh jalan yang sama, mari kita tak perlu ragu lagi dengan jalan yang kita pilih. Jalan hidup yang berlandaskan praksis dan prinsip etis transformatif Yesus dari Nazaret. Mari mengingat Rasul Paulus yang tak pernah ragu akan panggilan hidupnya mengikut Yesus dari Nazaret. Bayangkan ketika ia hendak pergi ke Yerusalem, dimana ia terancam nyawanya oleh musuh-musuhnya, namun dengan tegas Rasul Paulus mengatakan:
"Tetapi aku tidak menghiraukan nyawaku sedikit pun, asal saja aku dapat mencapai garis akhir dan menyelesaikan pelayanan yang ditugaskan oleh Tuhan Yesus kepadaku untuk memberi kesaksian tentang Injil kasih karunia Allah" KPR 20:24.

Ya, sebagaimana Rasul Paulus yang terus menghidupi Jalan Yesus Kristus, mari bersama-sama menegakkan hati untuk terus bertekun di dalam panggilan. Panggilan untuk mentransformasi dunia!
Ada banyak godaan untuk berpaling dari jalan ini. Tapi, jika kita, yang mencintai jalan ini, yang mencintai Yesus yang adalah Tuhan kita (sebagaimana lagu Tony Q di atas), tak perlu kita ragu, tak perlu kita goyah, resiko apa pun, akan kita tempuh! pengorbanan apa pun, akan kita lakukan. Semuanya demi jalan yang kita lalui, dan yang kita pillih, jalan yang kita cintai. The Way of Jesus Christ -The Crucified God-.

So, Let's sing the song: This is My Way! I Love My Way!

Friday, April 16, 2010

Yesus: Tranformasi


Dipikir-pikir, kok begitu banyak sekali ya literatur yang membahas mengenai Yesus. Entah itu dari sisi konservatif atau yang dianggap 'kiri' sekali pun. Dipikir-pikir lagi, apa sih inti pokok diskusi mengenai Yesus? Keilahian Yesus? Kemanusiaan Yesus? Atau apa? Kupikir-pikir, inti pokok diskusi mengenai Yesus dari Nazaret, yang diimani gereja Purba sebagai Christos dan Kyrios, adalah mengenai satu hal: transformasi! Ya, kerinduan akan transformasi, kerinduan mengenai perubahan yang dapat dialami oleh umat manusia. Transformasi yang akan mengantarkan dunia menjadi tempat yang lebih baik untuk ditinggali. Transformasi ini, bisa dimulai dari sisi mana pun dari pesan Yesus. Baik melalui interpretasi yang penekanannya terdapat pada pesan revolusi sosial, revolusi politik, atau bahkan revolusi institusi religius sebagaimana teolog-teolog Historical Jesus kontemporer. Mau pun, melalui interpretasi doktrin soteriologi substitusi-retribusi a la teologi konservatif. Bagi ku muara dari diskusi mengenai Yesus cuma mengarah kepada satu hal: Transformasi kehidupan.

Inilah mengapa nama Yesus perlu diberitakan!

Friday, February 12, 2010

Sebuah tulisan pendek: Mari melakukan eksegesis PB!


Semester ini aku mendapatkan mata kuliah yang sudah kutunggu sejak semester lalu, Eksegesis Perjanjian Baru! Ya, seiring minatku yang semakin bertambah kepada perkembangan teologi Perjanjian Baru, serta perdebatan dan diskusi yang berlangsung seru dikalangan sarjana-sarjana biblika, membuatku merasa bahwa aku harus benar-benar menguasai skill eksegesis PB. Bersyukur, karena semester ini metode eksegesis PB yang dipakai adalah historik-gramatik yang aku masih mengakuinya sebagai pendekatan yang masih bisa dipertanggungjawabkan dalam menelaah Kitab Suci.

Namun, akhir-akhir ini aku sedikit gelisah juga, mendengar kabar dari kawan-kawanku satu angkatan, yang merasa berat sekali menjalani mata kuliah ini, tugasnya begitu banyak, dan menuntut keuletan serta kesabaran (jelas, aku juga merasa demikian!), apalagi ada oknum-oknum yang acapkali mengatakan: "kasihan ya masta mereka, eksegese PBnya repot, harus lihat ini lah, langkah-langkahnya banyak lah, padahal nilainya juga belum tentu memuaskan", lebih jengkel lagi ketika ada yang berkata: "buat apa susah-susah buat eksegese PB yang seperti begituan, nanti ketika pelayanan di jemaat juga ga akan terpakai", huh! baunya pragmatis sekali!

Maka dari itu aku ingin mengungkapkan beberapa hal, mengapa kita memerlukan eksegesis Perjanjian Baru:

1. Kitab Suci(KS) ditulis di dalam konteks sosio-budaya mereka sendiri. Tidak mungkin pembaca modern membaca KS tanpa menyelidiki terlebih dulu sosio-budayanya. Jika itu dilakukan, maka makna yang ditimbulkan, tidaklah akurat sesuai dengan apa yang penulis inginkan. Pembaca harus menjembatani kesenjangan-kesenjangan yang ada antara teks yang berada di jaman kuno, dengan pembaca yang berada di jaman ini. Kesenjangan itu dapat berupa banyak hal, baik itu aspek bahasa, budaya, dan kondisi masyarakat. Eksegese PB adalah alat untuk menjembatani kesenjangan-kesenjangan itu. Dengan melakukan eksegesis maka kita bisa mendapatkan makna yang asali, yang berasal dari penulis teks KS mula-mula. Meskipun, harus tetap diakui bahwa terdapat kemustahilan untuk menggapai makna absolut yang terdapat dalam teks tersebut.

2. Eksegesis PB dapat dipakai sebagai alat evaluasi pemahaman kita terhadap teologi Kristen. Bayangkan, jika kita bisa memahami apa yang penulis maksud dalam konteks aslinya. Maka, kita dapat menyimpulkan, dan mengambil perspektif teologis yang biblis dan dapat dipertanggungjawabkan untuk dapat diaplikasikan bagi masa kini. Misalkan, ketika kita mengeksegese surat-surat Paulus, yang membicarakan isu gender, rasial, dan gereja, tentu hasil kesimpulan eksegesis kita akan dapat dipakai untuk melihat apakah teologi atau pun perspektif etika yang kita pakai sudah sejalan dengan penulis (Paulus) alkitab dalam melihat isu-isu diatas. Bahkan pemahaman doktrinal, tentang Allah, pribadi Kristus, keselamatan, surga dan neraka pun, dapat dievaluasi kembali melalui studi eksegesis ayat-ayat yang dipakai untuk pengajaran doktrin-doktrin tersebut.

Memang, kebanyakan orang takut untuk mengkritisi KS, masakan Alkitab yang adalah firman Allah itu dikritik-kritik? Pandangan ini harus disisihkan, karena bukankah kritis adalah awal untuk memahami pengetahuan yang lebih benar dan akurat? Kritis terhadap KS akan membuat kita lebih memahami apa yang KS ingin katakan, jauh melampaui dogma-dogma yang seringkali menyelubungi pembacaan kita terhadap KS, jauh melampaui presaposisi doktrinal yang menghegemoni penafsiran dan pemahaman kita terhadap KS.

Bayangkan saja, betapa pentingnya eksegesis bagi seorang teolog, hingga Karl Barth (yang notabene, dicap sesat, dalam kaitan atas pandangan bibliologinya) di dalam pesan terakhirnya, yang dikutip oleh Gordon Fee, dalam buku New Testament Exegesis mengatakan: "Jadi dengarlah sepenggal nasihat saya: eksegesis, eksegesis, dan lagi eksegesis! Bertekunlah kepada Firman, kepada kitab suci yang telah diberikan kepada kita." Wah terus terang, teolog favorit saya yang satu itu selalu memukau hati saya dengan kata-kata, dan pemikirannya. Di tempat yang lain, dalam buku Church Dogmatics-nya, ia juga sempat mengatakan bahwa teologi itu indah, jelas, eksegesis pun akan jadi hal yang indah. Karl Barth saja, menyadari kebutuhan untuk terus mempelajari KS, terus melakukan eksegesis terhadap KS, lalu bagaimana dengan pembaca?

Menyitir dosen Perjanjian Baru saya: "dalam studi, seringkali kita mengalami kesulitan, tetapi jika kesulitan itu diperlukan untuk semakin memahami firman Tuhan, semakin mengenal Tuhan Yesus, kesulitan itu tidak akan terasa sama sekali, karena mempelajari firman Tuhan sungguh hal yang sangat indah".

Jadi, apa yang harus kita lakukan? tidak ada yang ingin aku katakan selain: Mari mengeksegesis Perjanjian Baru!!
buat mastaku: ayooooooo,.. semmmannnngaaaaaaaaaaat!!!

Soli Deo Gloria!

Tuesday, February 9, 2010

Lelah kepada yang naif



Sering kudapati diriku lelah berlari di dalam komunitas ini.
Betapa mereka adalah kumpulan-kumpulan kenaifan yang hanya menyenangkan diri.
Menuntut aku untuk jadi seperti mereka.
Jika tidak, maka aku diharuskan pergi, menyingkir dan tertindas.

Sering kudapati diriku sepi menyendiri tak berteman dan tak bersahabat.
Tiada seorang pun mengerti betap rindunya hati untuk menggapai kebenaran.
Mereka cuma mampu menuduh aku sesat! bidat! miring! dan gila.
Aku kesal, sungguh teramat kesal, karena bukan logika dan otak yang mereka pakai
Namun, hegemoni ideologi yang mencoba mengakuisisi segala pemikiran kreatif,
Yang hanya mencoba untuk memperbaiki hidup.

Tidakkah mereka naif??
Aku lelah,
Aku menangis dalam kepedihan dan sepinya diri.
Menanti yang Ilahi datang dan menguatkan hati.

Jika lelah, aku hanya mampu berhenti, dan memandang salib Kristus yang mulia itu
agar Ia, menguatkan aku kembali.

Friday, February 5, 2010

sebuah puisi dari Rabi Abraham Joshua Heschel: untuk sobat.

"To a Lady in a Dream"

Grant me a breath
A finger's touch;
for a thousand hours of yearning
give me on word!

I dreamt of you through all my youth,
through all my youth, fenced off from you---
and my dream aches so much.
I owe to you my immense yearning--
and beg of you: Rescue my dream!

Your eyes are grettings from God.
Your body-- an oasis in the world
joy for my homeless glances.
Your legs are trees of desire
in the gardens of quitest delights.

I searched for you iin dreams in the night.
You never came to my unforgettable desires.
Yet stubbornly the dreams swore: You are there!
some day you shall belong to me:
But like a student at a test,
I now stand mute before you.

I've come with showcase--words boldly to your heart,
Astonished, looking through your eyes
as through the shattered windows of my dream--
I've forgotten my arrows, forgotten my bows. . .
forgive me, beloved, my chaotic silence!

Grant me a breath,
a finger touch;
for a thoushand hours of yearning,
give me one word!

Dalam The Ineffable Name of God; Man


Seorang sahabatku menantikan jawaban cinta dari wanita yang dikasihinya. Give me one word! katanya. Berikan sebuah jawaban yang akan menjelaskan kegelisahan hati yang selama ini mengusik diri! Dan semoga jawabannya adalah: ya! Tapi sayang, ia yang tulus, yang tanpa pamrih, yang menolak kesombongan diri, yang tak berhenti untuk menjadi pribadi apa adanya, mengalami kepedihan hati. Cintanya tertolak, tertolak karena apa? aku tak tahu, yang pasti Lady in a dream-nya memedihkan hatinya. Memang, kadang (sering?) dunia tidak bersahabat dengan manusia yang mencoba bertindakan jujur dan apa adanya. Tak mengapa, itulah kehidupan. Barangkali rodanya ada di bawah.

Akh! Selamat berjuang menghadapi hidup sobat!

Friday, January 22, 2010

sekedar tulisan pendek: komunitas resistensi.



Baru-baru ini aku membaca sebuah buku karya Richard Horsley: Jesus and Empire, yang merupakan kelanjutan bacaan dari bukunya yang terdahulu Paul and Empire, serta REligion and Empire. Karya yang mutakhir, dan kritis terhadap keadaan global dunia masa kini yang dikuasai oleh Imperium Kapitalis Amerika Serikat. Memberikan sebuah alternatif masyarakat yang berpegang pada prinsip Yesus dari Nazaret, yaitu komunitas kerajaan Allah, komunitas Ekklesia, komunitas yang mendasarkan diri kepada prinsip kasih, egaliterian, non-individualistik, yang teosentrika, serta gagasan akan hadirnya keadilan dan pengampunan. Idea dan gagasan petani dari Galilea yang hidup dalam era Yudaisme Abad Pertama. Ketika Israel, umat plihan Allah dijajah dan ditindas oleh Imperium Roma, Lelaki bersandal yang dianggap tak berarti oleh kawan dan kerabat-Nya sendiri. Yesus memberikan gagasan akan sebuah komunitas yang memberikan resistensi terhadap Imperium Roma yang bekuasa saat itu, komunitas alternatif yang subversif, namun tidak berjuang melalui jalur kekerasan, tapi malah nir-kekerasan! Dan ini dibuktikan melalui kematian-Nya di kayu Salib, membuktikan prinsip anti- kekerasan yang diberikan-Nya! Tidakkah pesan dan amanat Yesus sungguh lebih besar daripada gagasan kaum Sosialis-Marxist, atau pun gagasan-gagasan demokratik yang utopis itu!


Akhir-akhir ini aku menyadari, aku hidup dalam komunitas itu. Mastaku adalah bagian tersendiri di dalam komunitas itu, keluarga ekklesia yang memprinsipkan diri dalam relasi saling mengasihi. Tak egositik, selaiknya dunia di sekitar mereka. Tak antroposentrik, bagaikan dunia yang hidup semaunya sendiri. Aku menulis sekedar tulisan pendek ini. Untuk menyemangati sahabat-sahabat dan keluarga ku di tempat ini. Dalam menyambut semester baru, dan tantangan yang silih berganti menerpa diri, tak pernah kita perlu takut dalam menghadapinya. Karena kita punya komunitas! Komunitas Kerajaan Allah yang saling mendukung dan memelihara kasih Ilahi yang sejati! Komunitas yang memberikan kedamaian dan keamanan yang sejati, dan tidak semu! Karena damai dan keamanannya berasal dari Allah sendiri.

Semoga dalam semester baru ini, komunitas resistensi itu semakin terlihat, dalam koreksi yang berdasarkan pengampunan dan perhatian, dalam kritik dan penghiburan yang terlintas satu dengan yang lain. Membangun jati diri setiap anggota, menjadi semakin serupa dengan KRistus yang dibangkitkan, membangun sebuah komunitas, yang berlandaskan pengharapan akan kerajaan Allah yang akan mengalami kepenuhannya ketika parousia terjadi..


Wahai kawan, selamat menyambut semester genap!

Laieus Deus!

Sunday, January 10, 2010

Permenungan Eksistensial (2) : Kesepian; perspektif nabi Elia


Kemarin siang tiba-tiba aku terbangun dengan kaget dari tidur siangku tepat pukul 14.30. Dengan mata yang belum terbuka lebar, dan kesadaran otak yang masih tipis aku merasakan perutku keroncongan. " Akh Gawat!" pikirku, makanan tadi siang di ruang makan kampus pasti sudah dibereskan, mau tak mau aku harus pergi makan ke luar. Apalagi toh mumpung hari itu adalah hari minggu, seharian kami (penghuni kampus) boleh pergi ke luar asrama kapan saja. Langsung saja pikirku melayang ke Bakso Sarmut, alternatif terdekat untuk makan dengan cepat mengingat waktu yang mepet karena sore itu aku berencana juga untuk pergi beribadah ke gereja. Aku bangkit dari ranjangku, memakai jaket silver jelekku dan bercelana hitam, satu-satunya celana yang siap pakai di hari itu. Ah, aku nampaknya sedang beruntung! Tepat pada waktu itu ada seorang teman yang keluar untuk pergi pelayanan memakai motor, maka aku pun nunut boncengan dengan dia, meluncur pergi ke Bakso Sarmut di tepian jalan raya Tidar..

Sesampainya di sana, tanpa ba bi bu, aku langsung masuk, mengambil mangkok dan mulai mengambil beragam jenis yang ditawarkan bakso Sarmut. Dasar perut sudah tak bermain lagi keroncong, namun memainkan musik metal yang memekakkan telinga a la DeadSquad yang hari-hari ini sedang kudengarkan, meminta agar diriku segera mengisinya dengan bantalan-bantalan bakso, tahu, siomay dan gorengan itu! Kemudian aku meminta diisi kuah bakso sarmut, mengambil sendok dan garpu, bersiap menyantap dengan sepenuh jiwa dan raga. Yah! aku akan makan! kemudian aku mengambil tempat duduk yang terdekat, dengan posisi menghadap ke arah jalan raya, dan memunggunggi meja kasir bakso pak sarmut. Aku berdoa, mengucap syukur kepada Allah Sang Pemelihara Hidupku.

Perlahan-lahan aku menikmati bakso sarmut melangkah masuk ke dalam mulutku melalui sendok dan garpuku, meluncur melalui tenggorokan, meliiuk-liuk di usus, dan sampai di lambung untuk dicerna lebih lanjut. Namun tiba-tiba rahangku tercekat! aku didera perasaan ketakutan secara tiba-tiba! perasaan yang serupa ketika beberapa waktu lalu aku mengikuti ibadah perkabungan kerabatku.

Di meja sebelah kanan aku melihat sepasang lansia, suami-istri duduk makan bersama dengan mesra. Mereka menikmati bakso sarmut bersama-sama, mungkin dengan gigi mereka yang mulai ompong namun dengan tingkat kebersamaan absolut! Akh sungguh mesra nian opa-oma itu! Di meja satunya lagi, duduk pula sepasang kekasih muda, lelaki dan perempuan, mereka juga menikmati bakso sarmut bersama-sama! Ah indah nian, cinta mereka berdua menjadi lebih berwarna dengan kebersamaan yang mereka jalin siang itu melalui bakso sarmut!

"Akh wan? apa yang perlu kau takutkan dari dua pasangan romantis itu???" pikirku membela diri yang sebenarnya sedang jengah dan gelisah.

Bombardir serangan ketakutan datang lagi kepada diriku, tak lama datanglah satu keluarga, dengan mama dan anak-anaknya, berjumlah empat orang. Dari mobil mereka (Honda Jazz!), serta dandanan dan tindak-tanduk mereka dapat diketahui mereka pasti berasal dari keluarga konglomerat, barangkali ayah mereka sedang memimpin rapat di suatu tempat hingga tak bisa melewatkan makan siang bersama keluarganya tercinta. Namun tetap saja, mereka datang bersama-sama dengan keluarga, sungguh romantis nian! sebuah keluarga yang utuh makan bareng bersama-sama di bakso sarmut! Akh! indah dan bahagia sekali! Bukankah keluarga adalah institusi organis yang paling indah di muka bumi ini??


Kembali aku menelisik diri, mencoba mengurai arti dari rasa ketakutan ini. Yah, aku ketakutan! Dan dalam selang waktu pendek laksana secepat kilat yang muncul dari atas langit, aku tercerabut dalam konteks ruang dan waktu yang aku alami. Seolah aku berada di sebuah dimensi dunia yang lain, sepasang opa-oma itu menghilang, sepasang pemuda-pemudi itu juga pergi, keluarga itu juga raib...
aku berada dalam struktur ruang waktu-ku sendiri, berada sendirian dengan diriku sendiri, memegang sendok dan garpu berusaha untuk terus menikmati waktu makanku namun aku tak mampu.


Yah, aku tahu, aku terserang sebuah ketakutan berkenaan dengan perasaan kesepian! [barangkali lagu soundtrack yang tepat adalah lagu dari Sheila on 7, "kami adalah pria-pria kesepian..." :-P]
Aku tak datang dengan pasangan (karena memang tak punya)! aku tak datang dengan teman! aku tak datang dengan keluarga! aku sendirian! dan perasaan ini juga sering menghantui aku akhir-akhir ini, perasaan sendiri, kesepian dan tak ada yang peduli kepada hidup dan diriku, perasaan yang menggelisahkan malam-malamku, membuat insomnia menyerang diri dan sakit kepala akibat kurang tidur..

Memang kesepian adalah sebuah tema besar yang sudah kualami dalam 19 tahun aku mengarungi lautan hidup di muka bumi ini. Sering aku merasa sendiri, tak punya kawan, tak punya kerabat, tak punya saudara, tak punya orangtua, karena semua terlampau sering sibuk dengan diri mereka masing-masing. Sungguh! Banyak ironi dan tragika hidup yang kualami, membuatku sering berada dalam perasaan kesepian yang sama! sendiri dalam luasnya cakrawala dunia! Sendiri dalam gegap gempitanya anak-anak muda yang melewatkan waktu bersama kekasih hati mereka! Sendiri dalam deru kegemibiraan sinar senyuman keluarga-keluarga bahagia..

Saat itu juga terlintas jelas dalam alam pikiranku yang dahulu kala masih sering merenungkan teks-teks yang berkenaan dengan kajian filsafat barat, diktum dari seorang filsuf Jerman yang kuanggap cukup mempengaruhi garis pemikiranku. Ia adalah Friederich Nietzsche, yang dalam salah satu bukunya (aku alpa) pernah mengatakan: 'Kesepian adalah rumahku.." Nietzsche adalah pribadi yang berani untuk menentang bentuk-bentuk otoritarian dalam hidupnya, orangtuanya, gereja, dan struktur moral masyarakat. Meski kemudian dirundung dalam sepinya hidup yang tak banyak berpihak padanya, tapi ia tak takut, tak gelisah, tak menangis, tapi ia berdiri tegak dan menikmati kesepian itu sendiri, Menjadikan kesepian itu kawan hidup yang tak perlu ditakuti, dan membuatnya berani untuk berkata 'ya' terhadap hidup di dunia kini, sekarang, dan saat ini..

Pikiranku tak berhenti kepada figur seorang Nietzsche, namun berkelana menembus dunia alkitab, aku teringat kepada Yesus ketika Ia disalib, bukankah Ia juga mengalami kesepian, ditinggalkan murid-muridNya, bahkan Ia berteriak: "Allah-Ku, Allah-Ku mengapa Engkau meninggalkan Aku?" Yesus merasakan kesepian! Pikiranku terus berlanjut tak berhenti, melayang ke dunia alkitab jaman kuno, era Perjanjian Lama, kepada figur seorang nabi besar yang dikagumi oleh orang Israel bahkan sampai era Perjanjian Baru, ia adalah Elia!

***

Dalam teks 1 Raja-raja 19: 1-18, dikisahkan bagaimana Elia (yang dalam kerangka penafsiranku) mengalami sebuah perasaan yang sama dengan apa yang aku rasakan, ya! perasaan kesepian itu! Nabi Elia pada waktu itu dilaporkan baru saja melakukan mujizat di gunung Karmel, ia membela nama Allah di hadapan umat Israel! Membuktikan bahwa Yahweh adalah Allah dan Tuhan yang hidup, yang bukan ciptaan manusia seperti dewa Baal! Namun, setelah mendengar ancaman dari Izebel, istri Ahab yang kejam nian lagi nyebelin itu, yang mengancam akan membunuh Elia dan berkata "membuat nyawamu (Elia) sama seperti nyawa salah seorang dari mereka itu (nabi Baal yang dibunuh Elia)" [ayat 2]. Maka Elia merasa takut, kemudian ia pergi ke Bersyeba, ke wilayah Yehuda, yang barangkali dia bisa selamat dari kejaran Izebel, serta meninggalkan bujangnya di sana. Kemudian apa yang Elia lakukan?

Elia pergi ke padang gurun dan ayat 4 melaporkan bahwa ia sendirian!! kemudian ia duduk di bawah sebuah pohon arar (katanya ini sejenis pohon beringin), dan merasakan bahwa ia ingin mati, Elia mengatakan: "Cukuplah itu! Sekarang, ya TUHAN, ambillah nyawaku, sebab aku ini tidak lebih baik daripada nenek moyangku." Jelas! Di dalam kesendiriannya Elia merasakan sebuah perasaan kesepian! Merasakan bentuk depresi yang menyerang keseluruhan aspek hidupnya! Apalagi Elia adalah satu-satunya nabi yang sedang berkarya bagi Yahweh pada waktu itu! (ayat 14 melaporkan hal ini). Elia adalah nabi yang sedang merasakan kesepian!!!

Namun kemudian, apa yang terjadi?? ayat 5 mencatat bahwa seorang malaikat menyentuh dia, menyuruhnya untuk makan agar raganya bangkit kembali, kemudian menyuruh Elia pergi ke gunung Allah! Pergi ke gunung Horeb, sebuah tempat dimana Allah berkenan hadir sebelum Israel membuat Tabernakel, sebuah tempat yang berjarak 300 kilometer selatan dari Bersyeba. Sebuah tempat yang kini lebih dikenal dengan gunung Sinai! Ya, Elia disuruh pergi ke tempat Allah berkenan hadir! Elia disuruh pergi untuk mencari dan menemui Allah-Nya! Allah yang dilayaninya!

Da kemudia apa yang terjadi ya! Allah ada disana! dalam ayat 12 Allah menampakkan diri kepada Elia melalui "bunyi angin sepoi-sepoi basa". Allah menyatakan diri-Nya yang Kudus lagi Maha Kuasa itu! Allah menyatakan bahwa Elia tidaklah sendirian, namun ada Dia, Allah Immanuel, yang menyertai umat-Nya, menyertai nabi-Nya, menyertai para pelayan-Nya!
Kemudian, Allah dalam ayat yang ke 15 memerintahkan Elia untuk kembali ke jalannya, kembali kepada pekerjaannya di Israel, untuk mengurapi Hazael, raja atas Aram, Yehu, cucu Nimsi, sebagai raja atas Israel, dan mengambil Elisa bin Safat yang akan meneruskan pekerjaan kenabiannya. Inilah faktanya! Setelah Allah menyatakan diri dan penyertaan-Nya. Allah menyuruh Elia, nabi yang sedang kesepian itu untuk kembali bekerja! Elia mustinya sudah sadar, bahwa ia tak perlu mati, tak perlu merasa sendiri, tak perlu merasa kesepian, karena Allah menyertainya! Karena Allah bersama-sama dengan dia untuk menghadapi ancaman Izebel! Kisah selanjutnya mengenai Elia dan konfrotasinya dengan raja Ahab bisa pembaca ikuti sendiri dalam Kitab Raja-raja.

Dengan jelas, kini kita telah belajar! Sebagai pelayan Tuhan tak perlu kita merasa kesepian, dan sendiri! Karena bukankah Allah kita adalah Allah yang Immanuel! Allah yang nyata bersama-sama dengan kita, apalagi dengan kehadiran putra-Nya, Yesus Kristus di muka bumi ini! Sungguh Allah Sang Pencipta yang begitu transenden itu, ternyata juga imanen, dekat dengan manusia, bahkan bersama-sama dengan kita!

Yesus, anak tukang bangunan dari Galiliea itu pernah berkata kepada murid-muridnya: "Aku akan menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman" (Matius 28:20b). Apakah lagi, fakta yang menggembirakan dan memberikan sukacita tiada tara selain daripada Allah yang bersama-sama umat-Nya, menghapuskan kesepian itu!!?

Karena itu, sidang pembaca yang adalah pelayan-pelayan Tuhan dalam konteks sosio-budaya mereka sendiri, tak perlu takut dengan fakta-fakta hadirnya kesepian dalam kehidupan setiap kita! Sebagai pelayan-pelayan Kerajaan Allah kita akan sering mendapati diri kita di dalam kesepian, itu pasti! Ketika hasil kerja keras pelayanan kita dipandang sebelah mata, ketika kita berkonflik dengan rekan sepelayanan, ketika kita dianggap buruk oleh jemaat yang kita layani, ketika tidak ada seorang pun yang peduli terhadap diri kita, ketika kita berada di dalam kondisi kerohanian dalam titik terbawah dan depresi yang amat sangat membekap kita, membuat kita berada di dalam kesendirian, berada di dalam kesepian!! Banyak hal, malahan yang bisa membuat kita merasakan kesepian itu!

Tetapi dalam kondisi kesepian yang bagaimanapun, kita tak perlu takut karena kita punya Allah! Ketika kita merasakan kesepian, maka yang kita lakukan adalah sebagaimana yang Elia lakukan, pergi le Gunung Horeb, pergi mencari Allah! Dan kita akan segera akan mendapati bahwa Allah bersama-sama dengan kita, sebagai gembala yang menjaga domba-Nya yang kesepian, meringis dalam kesendirian, sebagai Bapa yang menggendong anak-Nya, yang menangis dalam kehampaan dan ketidakmampuan. Dan Damai sejahtera, kelegaan, pembebasan, serta kelepasan akan diberikan-Nya kepada setiap kita!

***

Barangkali, manusia memang butuh momen-momen eksistensial seperti demikian, momen-momen hening, kesepian dan kesendiran. Karena di dalam momen-momen seperti itu manusia bisa menemukan kebutuhan akan hadirnya Sang Ilahi dalam kehidupan mereka, mengerti tentang diri, memahami tentang dunia, mengenal akan Allah. Barangkali, kesepian yang demikian yang dimaksudkan Albert Nolan, seorang Katolik dari ordo Dominikan itu dalam bukunya yang baru saja kubaca, Jesus Today: Spiritualitas, Kebebasan, Radikal. Sebuah buku spiritualitas bagi orang Kristen abad pascamodern. Dimana Nolan menyarankan agar manusia dapat memiliki waktu-waktu hening, waktu-waktu sepi dan sunyi, untuk merenungkan diri dan mencari Allah, sama seperti Yesus yang tak henti-hentinya berdoa di tempat yang sunyi dan sepi..




Kemudian, tiba-tiba aku kembali ke kesadaran, aku habiskan isi mangkok bakso-ku, kuseruput dengan tidak sabar isi botol tehkita-ku. Lalu, aku berdiri dan membayar uang kepada Pak Sarmut (btw, yang mana Pak Sarmut-nya aku nggak tahu lho!!). Lekas-lekas aku pergi meninggalkan rumah makan bakso Sarmut, menyeberang jalan dan menunggu angkot untuk pulang. Tak perlu sekian lama aku menungggu, angkot pun datang, ku setel MP4 playerku, dan kudengarkan lagu pertama dari track-list laguku, suara Giring, vokalis band lokal Nidji, sayup-sayup terdengar, ia bersenandung lagu dari almarhum Chrisye: "Aku tahu ku tak kan bisa, menjadi s'perti yang engkau minta,..."

Bersama sayup lagu jadul itu, aku memejamkan mata, mengkerutkan dahi, mengepalkan tangan, membulatkan tekad dan meneguhkan hati. Ya! Aku harus mengakhiri kesepian-kesepian serta kesendiran dalam hidupku! Tapi gimana caranya? Gampang!! Aku berjani, nanti kalau aku makan ke bakso sarmut aku akan mengajak temanku! Sehingga aku tak perlu dirundung rasa takut akan kesepian!!


Dan angkot pun bergerak, meluncur di jalan raya tidar menuju kampus tercinta...




Soli Deo Gloria!

Wednesday, January 6, 2010

kematian

kok tiba-tiba ingin mati..
tak ingin hidup..
tak ingin berlari,.
tak ingin melihat..
tak ingin merasa..,
tak ingin mencerap..
tak ingin berkata..
tak ingin mendengar.
tak ingin berjalan.,
tak ingin menjadi manusia.,
tak ingin berpikir.,

aku lelah,
lelah untuk hidup.,.
lelah untuk mencari kebertuhanan..
lelah untuk menjadi manusia..

aku ingin mati..
barangkali, kematian akan jauh lebih nikmat daripada kehidupan??

Monday, January 4, 2010

perasaan dekat dengan kematian








Kemarin pagi aku pergi ke sebuah ibadah perkabungan seorang kerabat yang meninggal. Sebagaimana yang selalu aku rasakan ketika aku mengalami momen-momen sedemikian, aku mendapati diriku di dalam keheningan, sebuah momen eksistensial, yang hanya aku sendiri yang tahu dan merasakannya. Ketika peti mati jenazah dikeluarkan dari bus jenazah tiba-tiba aku terserang perasaan yang aneh, menggelayuti resah dan kegundahan jiwa. Seolah-olah aku yang berada di dalam peti itu, merasakan kegelapan dan kesepian. Kemudian, ketika peti diangkat dan ditempatkan di atas liang lahat, aku merasakan perasaan yang sama: aneh, fobia terhadap penguburan barangkali, tiba-tiba aku ketakutan, bagaimana jika aku ada di dalam sana?

Sang Pendeta dengan tubuh gembrotnya [heran, pendeta kok makmur banget ya?] yang memimpin ibadah perkabungan, dengan baju hitam dan dasi putih kecil itu pun memulai ibadah perkabungan. Pengakuan iman rasuli sebagai tanda proklamasi iman Kristen, nyanyian-nyanyian penghiburan yang memberikan pengharapan akan kedartangan Kristus dan kekuatan hidup yang diperoleh daripada Roh-Nya, serta doa penghiburan untuk keluarga pun dinaikkan oleh para pelawat. Sampai pada akhirnya Sang pendeta mengucapkan kata amin, sebagai tanda berakhirnya ibadah perkabungan tersebut. Sepanjang ibadah itu, aku berdiri tepat dekat di samping liang lahat, menatap lamat-lamat ke dalam liang tersebut, mencoba mengurai makna perasaan janggal dan aneh yang menggelayuti sukma ini. Sepanjang ibadah itu memang aku turut menyanyi, menaikkan kidung pujian dan turut menutup mata memohon kepada Sang Khalik bagi penghiburan atas keluarga yang ditinggalkan, namun sepanjang itu pula aku tak henti-hentinya gelisah, mengenai perasaan aneh ini.

kemudian, moment menabur bunga pun sampai, keluarga dekat dan para pelayat yang datang menabur bunga ke dalam liang lahat sebelum peti jenazah ditenggelamkan. entah kenapa, kakiku berada dekat dengan liang lahat, namun aku tak berani, tak sampai hatiku mengambil bunga dan menaburkannya ke dalam liang lahat. Akh! dalam batinku muncul pertanyaan menggelitik: sesungguhnya darimana muncul tradisi tabur bunga? apakah orang jawa dan indonesia secara keseluruhan punya tradisi tabur bunga di dalam penguburan orang yang sudah meninggal? atau kah itu tradisi bawaan dari Eropa sana? aku surutkan pertanyaan-pertanyaan itu dalam lubukku, bukan saat yang tepat untuk memikirkannya, barangkali nanti kalau ada kesempatan, pertanyaan yang dekat dengan studi aspek-aspek kebudayaan dan tradisi ini akan kucoba mencari jawabannya.

Akhirnya, momen puncak telah tiba, peti jenazah itu akan ditenggelamkan ke dalam lubang kegelapan, lubang kematian, lubang yang menandakan berakhirnya sebuah kehidupan, sebuah tanda bahwa manusia sebagai ciptaan adalah terbatas, tak sanggup menghadapi kenyataan Sang Pencipta yang mengambil nyawa, mencabut nafas dan mengembalikan manusia ke dalam debu tanah. Perlahan-lahan peti diturunkan dengan awas oleh petugas-petugas pemakaman, diletakkan dengan tepat dan penuh kehati-hatian. Pada akhirnya, peti jenazah itu pun sampai ke dasar liang, dan tanah-tanah kuburan pun di lemparkan ke atasnya, menutupnya, menandai usainya deru penguburan jenazah. Selama momen itu, aku hanya diam, melihat, meresapi dan menyayati diri dengan sebuah kegundahan: akh? bagaimana jika aku yang meninggal? bagaimana jika aku yang ditangisi? bagaimana jika beberapa tahun lagi, akh bukan! entah esok lusa, esok hari, bahkan nanti siang ini! aku yang meninggal, mati terbujur kaku dalam ketidakmampuan! Inilah perasaan yang seringkali aku alami ketika ikut sebuah kebaktian perkabungan atau melayat pemakaman seseorang, sebuah perasaan, perasaan dekat dengan kematian.

perasaan ini membuatku ngeri dan selalu tersadar akan beban berat yang ada di pundak seorang anak manusia sepertiku. bahwasanya hidup harus dilakoni sedemikian rupa agar tak menjadi hampa dan sia-sia belaka. agar ketika pada gilirannya nanti, aku yang berada di dalam peti, dikubur ke dalam liang lahat, aku boleh dikenang, tak sebagai seorang pembangkang hidup yang menjalani hidup dengan ketidakberartian, yang beriman namun tak mengimani keberimanan. namun sebagai seseorang yang menjalani hidup dengan bela-rasa dan solidaritas kepada kemanusiaan, menjalankan proyek-proyek bermakna, serta mempengaruhi kehidupan.

asal tahu saja, aku tak terlalu peduli dengan kehidupan setelah kematian, karena bagiku iman Kristen tidaklah berbicara dengan dunia setelah manusia mati, pengharapan-pengharapan surga yang idealistis, dan melenakan manusia dari tuntutan kehidupan masa kini. bagiku iman Kristen berbicara mengenai aspek-aspek dunia kekinian, bagaimana manusia hidup selayaknya manusia. Bagaimana manusia hidup dengan orientasi Ilahi yang membawa kehidupan ke arah yang lebih baik demi hadirnya kemaslahatan umat manusia, gambaran ideal kehidupan, yang disebut orang Kristen Kerajaan Allah, yang disebut orang-orang Marxist sebagai masyarakat sosialis. entah ada tidak sebutan yang lain untuk menandakan dunia tersebut. demikianlah aku memandang dunia dan kehidupan ini. meski kadang-kadang aku gelisah dan mengalami 'perasaan dekat dengan kematian', aku tidak takut dengan kematian itu sendiri. yang aku takutkan adalah ketika aku hidup dengan kesia-siaan, dengan ketidakbermaknaan, dengan orientasi yang egoistis, tak peduli kepada orang lain, dan (apalagi) juga kepada Tuhan..

"dan debu kembali menjadi tanah seperti semula dan roh kembali kepada Allah yang mengaruniakannya"
Pengkotbah 12:7


bayangkan jika kita yang ada di dalam peti mati, bayangkan jika kita yang dikubur ke dalam liang kegelapan. kalau manusia dapat tergiang terus bayangan dekat dengan kematian itu, manusia tidaklah layak untuk sombong dan seenaknya dalam menulis kehidupannya!

karena sungguh, tugas kita yang hidup di dunia ini adalah hidup dengan kebermaknaan! kebermaknaan di dalam kasih yang suci dan motivasi tulus dalam nurani!