Sunday, December 13, 2009

CREATION SEBAGAI BAGIAN DARI GEREJA YANG UNIVERSAL: MELENGKAPI EKO-TEOLOGI KRISTEN

PENDAHULUAN

God of the galaxies spinning in space;
God of the smallest seed our living source:
Yours are the gifts of this beautiful space,
Let us care for the garden and honor the earth!


Sebaris syair yang ditulis seorang praktisi eko-teologi tersebut, dapat diterima menjadi sebuah doa yang dapat dilantunkan oleh setiap umat percaya. Di tengah kondisi bumi yang mendekati kehancuran, sudah selayaknya umat manusia mencari pertolongan dan hikmat Allah untuk perlahan melakukan upaya konservasi terhadap alam yang sudah terlanjur dikotori oleh tangan jahat manusia. Tentu saja, sebagai umat yang beriman kepada “khalik langit dan bumi”, umat Kristen adalah garda depan di dalam upaya konservasi alam. Bahkan, teologi Kristen memang sudah menanggapi berbagai kritikan yang menganggap bahwa kesalahan tafsir terhadap Kejadian 1 adalah ‘biang keladi’ kerusakan alam. Hal ini dibuktikan dengan adanya berbagai literatur yang mencoba membangun teologi-lingkungan hidup sebagai dasar perspektif Kristen dan berusaha memberikan kesadaran bahwa umat percaya memiliki tanggung jawab etis bagi keberlangsungan lingkungan hidup. Tulisan ini hanya akan bersifat melengkapi berbagai literatur yang ada, dengan secara khusus menambahkan dari sudut pandang ekklesiologi.
Dalam membangun eko-teologi, para praktisi yang ada kurang sekali memperhatikan keberadaan doktrin ekklesiologi, karena hanya berfokus kepada doktrin penciptaan, doktrin manusia, doktrin penebusan, maupun doktrin eskatologi. Padahal, penulis berpendapat bahwa setiap doktrin Kristiani yang ada memiliki hubungan dengan keberadaan ciptaan. Karena itu, tulisan ini akan memaparkan: pertama-tama, panggilan gereja dalam krisis ekologi, kedua, adanya penebusan terhadap seluruh ciptaan, kemudian menjelaskan analisa creation sebagai bagian dari gereja yang universal, dan terakhir, mencoba memberikan kesimpulan dan implikasi dari analisa yang ada.

PANGGILAN GEREJA DALAM KRISIS EKOLOGI

Kondisi alam dan lingkungan hidup saat ini memang sangat memprihatinkan. Data yang diberikan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) mengungkapkan bahwa 90% aktivitas manusia selama 250 tahun terakhir, terutama sejak Revolusi Industri, telah membuat planet ini semakin panas. Pemanasan global pada permukaan bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18°C selama seratus tahun terakhir, dan model iklim ini akan meningkatkan suhu permukaan global 1.1º hingga 6.4º C antara tahun 1990 dan 2100. Tinggi permukaan laut diseluruh dunia telah meningkat 10-25cm selama abad 20, dan IPCC memprediksikan peningkatan lebih lanjut antara 9-88 cm pada abad 21. Kenaikan 100 cm permukaan laut akan menenggelamkan 6% daerah Belanda dan 17.5% daerah Bangladesh.
Melihat kondisi seperti di atas, cukuplah fakta yang menyatakan bahwa kondisi lingkungan hidup sudah sangat mengkhawatirkan, “alarm krisis ekologi global telah berdering.” Dengan demikian, gereja seharusnya dituntut untuk tanggap dan mencoba memberikan konstribusi signifikan bagi usaha konservasi alam dan lingkungan hidup. Apalagi, alasan teologis adalah salah satu alasan yang seringkali dipakai untuk mendasari adanya eksplorasi terhadap bumi dan materi yang ada di dalamnya. Kesalahan dalam mengerti hubungan manusia, alam dan Tuhan adalah bagian dari motif teologis yang dipakai untuk eksploitasi secara berlebihan. Secara khusus dalam konsep manusia sebagai imago Dei yang diberi mandat untuk menguasai ciptaan yang lain. Dengan adanya salah tafsir terhadap doktrin penciptaan dan dengan dasar Kejadian 9:1, membuat manusia membenarkan diri untuk melakukan eksploitasi terhadap sumber-sumber alam dan menjadikan manusia sebagai tuan dan empunya alam ini. Pandangan teologis tersebut banyak dipengaruhi oleh perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan era abad Pencerahan. Maka dari itu, penulis menyimpulkan bahwa teologi Kristen sendiri “digarami” oleh keberadaan pemikiran-pemikiran yang ada di dunia. Lalu, apa tanggapan gereja terhadap kenyataan pahit yang demikian?
Sebagaimana mestinya, gereja harus mulai membangun suatu teologi yang menyeluruh, bukan lagi bersifat antroposentris, tapi teologi yang teosentris, sehingga dapat mengantisipasi tantangan yang ada. Dalam kaitannya dengan krisis ekologi, gereja selayaknya memikirkan suatu eko-teologi yang dapat mencapai tataran jemaat awam. Kaum Evangelikal telah menyadari hal ini, dan bahkan sudah melakukan sebuah deklarasi untuk menyerukan kesadaran umat bagi pemeliharaan lingkungan. Tetapi patut disayangkan, tetap saja deklarasi ini baru sampai kepada kaum intelektual dan belum sampai kepada tatanan umat yang ada di bawah. Kondisi yang kurang ideal ini dapat menemukan solusinya, jika gereja memperhatikan eksistensi ciptaan dalam tempat yang tepat. Namun, sebelum sampai kepada pemahaman tersebut gereja harus memiliki dasar pijakan yang kuat yaitu teologi penebusan seluruh ciptaan di dalam Kristus.

PENEBUSAN SELURUH CIPTAAN

Sebelum melangkah lebih jauh, perlu dimengerti bahwa dalam eko-teologi Kristen pemakaian terminologi bagi alam dan lingkungan hidup adalah creation (ciptaan) karena sesuai dengan iman Kristen bahwa bumi, alam dan lingkungan hidup adalah ciptaan dan milik Allah. Kemudian, dalam teologi/doktrin penebusan, memang harus diakui bahwa umat manusia adalah objek dan fokus utama dari keselamatan (Ibr. 2:14-16), namun pembaharuan kepada seluruh ciptaan akan dialami pula baik kepada ciptaan yang ada di surga maupun yang ada di bumi (Why. 21). Maka teologi penebusan harus memperhatikan alam dan lingkungan hidup sebagai bagian dari ciptaan yang telah ditebus. Kejatuhan manusia di dalam dosa (Kej. 3) memiliki dampak terhadap kondisi seluruh ciptaan. Pemberontakan manusia kepada Allah, mengakibatkan rusaknya hubungan antara manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan sesamanya dan juga hubungan manusia dengan alam. Namun, dalam kerangka perjanjian Allah (Kej. 9) ciptaan akan dipulihkan lagi dan bersama-sama dengan seluruh bagian di dalamnya akan mengalami sebuah shalom. Visi pemulihan seluruh ciptaan ini tergambar dengan jelas dalam kitab Yesaya 11: 6-9, serta dalam perjanjian pemulihan Israel, tercakup juga janji pemulihan alam semesta (Hos. 2:17-22) . Terlebih lagi, sangat jelas bahwa sukacita pemulihan itu bukan hanya akan dinikmati oleh manusia saja, tetapi bersama-sama seluruh ciptaan (Yes. 65:17-25). Jadi, di hadapan Allah manusia memiliki kedudukan yang sama dan sejajar dengan alam, yaitu sebagai bagian dari ciptaan, meskipun memiliki fungsi yang berbeda.
Di tengah kondisi alam dan manusia yang membutuhkan pembaharuan, maka Allah datang ke dunia ini melalui Tuhan Yesus Kristus sebagai puncak dari pembaharuan dan penebusan terhadap seluruh dunia. Prediger mencantumkan alasan yang kuat mengenai mengapa hal ini layak dilakukan oleh Allah: “We lived in a cosmos designed by God. In this God-wrought world it is Love that moves the spheres and holds the world together.” Karena Allah begitu mencintai dunia ini, maka Allah akan melakukan tindakan penebusan bagi seluruh ciptaan (Yoh. 3: 16). Disini terlihat bahwa soteriologi akan menjadi pusat daripada semua teologi kaum evangelikal. Teks yang ada dalam Kolose adalah bagian yang jelas untuk pengajaran bahwa di dalam Kristus semua ciptaan diperdamaikan. Kolose 1:20 menegaskan: “dan oleh Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di sorga, sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus”.
Manusia tentu adalah fokus penebusan karena manusia adalah mahkota dari seluruh ciptaan. Namun dengan adanya pembebasan manusia dari dosa tersebut berdampak sangat luas dan mendatangkan perubahan bagi semua ciptaan Allah. Lewat penebusan, semua hubungan yang rusak akan dipulihkan kembali secara total. Perspektif penebusan seluruh ciptaan juga didasari teks Paulus dalam Roma 8:20-21. Teks ini menunjukkan janji dan pengharapan bagi adanya pembebasan bagi semua ciptaan yang terjadi secara universal. Selain itu teks ini menunjukkan bahwa:
“penebusan ini adalah sebuah peristiwa pembebasan dari pembusukan (decaying). Ini dapat dipahami sebagai sebuah eliminasi terhadap kematian, artinya, semua makhluk tidak akan mengalami pemangsaan (predation), penyesuaian diri (adaptation) atau perubahan (evolution) lagi dalam langit dan bumi yang baru. Jadi, penebusan ciptaan sebaiknya dimengerti dalam hubungannya dengan penyembuhan, pemulihan dan terutama ‘kebangkitan’ semua ciptaan Allah.”
Penebusan semua ciptaan yang dicapai dalam salib Kristus mendapatkan vindikasi oleh kebangkitan Kristus. Kebangkitan Kristus tidak hanya berdampak kepada manusia tetapi juga seluruh ciptaan. Pengertian penebusan seluruh ciptaan juga harus dilihat dari perspektif eskatologis, karena baru pada ketika masa kedatangan Tuhan Yesus Kristus yang kedua kali, maka seluruh ciptaan akan mengalami penebusan yang sempurna. Bukankah teologi Kristen lebih berbicara tentang pembaharuan ciptaan, bukan pada penghancuran terhadapnya? Prediger mengatakan demikian “An orthodox Christian eschatology speaks not of the annihilation of the earth but of its renewal and restoration.” Fakta di atas adalah dasar pijakan bagi membangun perspektif berikutnya: creation sebagai bagian gereja yang universal.

CREATION SEBAGAI BAGIAN GEREJA YANG UNIVERSAL

Ketika manusia ditebus, maka personal yang telah diselamatkan melalui iman kepada Yesus Kristus akan menjadi bagian dalam suatu komunitas umat percaya, yaitu, gereja. Bagian ini akan menjelaskan makna dan natur gereja, pengajaran gereja yang universal dan hubungannya dengan ekologi, dan terakhir menjelaskan analisa mengapa creation dapat menjadi bagian dari gereja yang universal.

Gereja, natur dan fungsinya

Kata gereja atau church berasal dari kata Yunani kuriakon. Merupakan bentuk adjektif netral dari kurios (Lord), sehingga bermakna ‘milik dari Tuhan.’ Selain itu, kata gereja juga berasal dari kata ekklesia yang berarti ‘memanggil.’ Jadi, gereja adalah suatu ‘kelompok yang dipanggil keluar.’ Grudem memberikan definisi yang mungkin lebih jelas: The Church is the community of all true believers for all time. Definisi ini memberikan pengertian bahwa gereja dibangun untuk keberadaan semua yang sudah diselamatkan, dan juga semua umat percaya dari segala jaman, baik yang ada di dalam kerangka Perjanjian Lama, maupun Perjanjian Baru.
Sebenarnya, pengertian gereja Kristen sendiri baru dimulai setelah peristiwa kenaikan Tuhan Yesus dan secara khusus dalam doktrin yang Paulus tuliskan dalam surat-suratnya. Natur gereja dalam Perjanjian Baru adalah sebagai kelompok orang percaya yang dipanggil dalam Yesus Kristus. Gereja adalah sebuah organisme yang hidup dan dibangun oleh Yesus Kristus sendiri (Mat. 16:18). Berbagai metafora yang ada dalam kitab suci menggambarkan natur daripada gereja, antara lain, gereja sebagai tubuh Kristus, gereja sebagai mempelai perempuan, gereja sebagai bangunan, gereja sebagai keimaman, gereja sebagai kawanan domba, dan gereja sebagai ranting daripada pokok anggur Kristus Yesus. Rencana Allah bagi gereja-Nya sangat luar biasa karena Ia memberikan tempat kepada Kristus dalam posisi yang otoritatif bagi gereja, dimana hal demikian dicatat dalam Efesus 1:20-23.
Berkaitan dengan fungsi gereja sendiri, Grudem menjelaskan tiga hal, yaitu pelayanan kepada Allah dalam kaitannya dengan penyembahan, kedua, dalam pelayanan kepada umat percaya, yaitu dalam pertumbuhan rohani mereka, terakhir, dalam pelayanan kepada dunia, yaitu penginjilan dan menjadi berkat bagi bangsa-bangsa. Dalam hubungannya dengan ekologi, Santmire menambahkan empat panggilan gereja: untuk bekerjasama dengan alam secara spiritual, untuk memelihara alam secara sensitif, untuk memimpikan alam yang diberkati, dan untuk mengantisipasi kedatangan Tuhan dengan sukacita. Setelah, melihat natur dan fungsi gereja yang demikian, maka bagian berikutnya akan menjelaskan hubungan-hubungan yang ada antara gereja universal dengan ekologi.




Gereja yang universal dan ekologi

Bagi Enns, jika gereja lokal melihat gereja sebagai umat percaya yang berkumpul di lokasi tertentu, gereja universal dipandang sebagai ‘keduanya, pada zaman ini dilahirkan dari Roh Allah, dan oleh roh yang sama telah dibaptis dalam Tubuh Kristus (1Kor. 12:13; 1Ptr. 1-3, 22-25).’ Selain itu Enns juga menambahkan: Penekanan khusus dari gereja universal adalah kesatuannya, baik Yahudi maupun non-Yahudi, semuanya membentuk suatu tubuh, dalam kesatuan yang dihasilkan oleh Roh Kudus (Gal. 3:28); Ef. 4:4). Terlalu banyak figur-figur yang digambarkan dalam kitab suci mengenai relasi antara Kristus dan gereja. Namun gambaran yang paling tepat bagi hubungan gereja-Kristus dengan alam-Kristus adalah metafora gereja sebagai tubuh Kristus. Metafora ini menggambarkan sebuah kesatuan dan universalitas dari gereja karena memakai kata tubuh. Kristus sebagai kepala gereja memiliki otoritas dan memberikan tuntunan kepadanya (Ef. 1:22-23, Kol 1:18). Dalam gereja yang universal, tidak ada perbedaan, semua satu di dalam Kristus (1Kor 12:13; Ef 2:16; 4:4).
Metafora gereja sebagai tubuh kristus di atas, sangat dekat dengan metafora yang Sallie McFague sarankan: The Worlds as God’s Body. Dimana dengan metafora ini McFague mengkritik monarchial model yang melihat Allah sebagai raja. Model monarkhial ini menurut McFague sangat berbahaya karena: metafora ini menguatkan perasaan berbeda dengan dunia, metafora ini hanya untuk dimensi manusia dan bukan untuk dunia serta metafora ini mendukung dominasi manusia kepada dunia. Maka dari itu, McFague menyarankan suatu metafora yang baru, alam sebagai tubuh Allah. Memang sangat mirp dengan Panteisme, tapi McFague berpendapat bahwa metafora ini bersifat monistis-panenteistis. Dengan metafota ini McFague menyarankan melihat alam ciptaan sebagai tubuh, dan Allah sebagai kepalanya. Jika manusia menyakiti dunia yang adalah tubuh, maka manusia menyakiti Allah secara langsung. Sehingga secara langsung metafora ini memberikan sikap yang holistik bagi respon dan pemeliharaan ciptaan.
Kemudian, mengenai natur dari gereja dan dalam kaitannya dengan ekologi-teologi, natur yang paling dekat dengan alam adalah gereja sebagai alat memuliakan Allah. The Universal Church is Doxological. Hal ini disebabkan karena tujuan hakiki dari keberadaan gereja adalah untuk membawa kemuliaan bagi Allah. Secara spesifik, Paulus menyebutkanya dalam Efesus 1:6, 12; 3:21; 1 Timotius 1:17, selain itu juga dalam pewahyuan Yohanes di Wahyu 4:9; 5:12. Bukankah, natur daripada ciptaan adalah juga demikian? Bahwa bumi dan segala isinya diciptakan sebagai arena panggung kemuliaan Allah. Dengan dua hubungan di atas cukuplah untuk menyimpulkan relasi alam dengan gereja, ciptaan adalah bagian juga dari universal church.

Creation sebagai bagian dari universal church

Melihat fakta bahwa ciptaan adalah bagian dari penebusan yang Kristus lakukan, serta adanya kedekatan antara metafora gereja sebagai tubuh Kristus dan alam sebagai tubuh Allah, serta kesamaan natur gereja dan ciptaan sebagai alat kemuliaan Allah. Maka, dalam tiga silogisme sederhana dapat dicapai hasil sebagai berikut:

Premis Umum : Gereja secara universal adalah kumpulan umat yang ditebus
Premis Khusus : Ciptaan adalah bagian dari penebusan
Kesimpulan : Ciptaan adalah bagian dari gereja yang universal

Premis Umum : Gereja secara universal adalah tubuh Kristus
Premis Khusus : Ciptaan adalah tubuh Allah
Kesimpulan : Ciptaan adalah bagian dari gereja secara universal

Premis Umum : Gereja secara universal adalah alat kemuliaan Allah
Premis Khusus : Ciptaan juga adalah alat kemuliaan Allah
Kesimpulan : Ciptaan adalah bagian dari gereja yang universal

Silogisme dari tiga pemikiran yang berbeda di atas membawa ke dalam sebuah kesimpulan yang menyeluruh: ciptaan harus dipandang sebagai bagian dari gereja yang universal, bagian dari hasil penebusan Tuhan Yesus Kristus, yang membawa ke dalam kesatuan tubuh Kristus dan sebagai alat yang sama untuk memuliakan Allah. Hal ini mendapat dukungan biblis yang lebih kuat dari teks Efesus 1:22-23 “Dan segala sesuatu telah diletakkan-Nya di bawah kaki Kristus dan Dia telah diberikan-Nya kepada jemaat sebagai Kepala dari segala yang ada. Jemaat yang adalah tubuh-Nya, yaitu kepenuhan Dia, yang memenuhi semua dan segala sesuatu.” Kesimpulan ini harus mendapat perhatian khusus yaitu, ciptaan bukan merupakan sesuatu yang eksistensinya yang berada di bawah gereja, yaitu gereja lokal, tapi ciptaan bersama gereja lokal menempati kedudukan yang setara di dalam satu bagian gereja universal.

Kesimpulan dan implikasi

Dengan melihat kesimpulan dari analisa di atas bahwa ciptaan sebagai bagian dari gereja yang universal, maka setidaknya, penulis memberikan beberapa implikasi yang mungkin relevan: Pertama, gereja melihat permasalahan ekologi dengan perspektif yang utuh, teologi yang dibangun tidak bersifat antroposentris, namun sangat teosentris , sehingga alam dan lingkungan menjadi satu bagian dalam teologi Kristen. Kedua, gereja sudah seharusnya berpikir lebih revolusioner, dengan melakukan aksi-aksi nyata dalam keterlibatan mereka dalam mengatasi permasalahan ekologi. Dalam hal ini, gereja, setidaknya dapat menyumbangkan sebagian dana gereja untuk mendukung misi gerakan penghijauan atau konservasi alam. Ketiga, gereja harus sedapat mungkin memperkenalkan eko-teologi yang utuh kepada jemaat awam, mulai dari sekolah minggu, kelas katekisasi, maupun susunan liturgi yang memperhatikan keberadaan alam-ciptaan. Terakhir, secara praktis, penulis menyarankan, pada khususnya gereja lokal, untuk mulai memperhatikan bangunan gereja yang ada, apakah bangunan gereja bersahabat dengan alam atau tidak, selain itu apakah kehidupan hamba-hamba Tuhan yang ada menunjukkan respek kepada alam ciptaan.

PENUTUP

St. Francis dari Asisi (1182-1226), yang di tetapkan sebagai santo pelindung lingkungan hidup oleh pemerintahan gereja katolik Roma, dapat menjadi teladan bagi keberadaan relasi antara gereja dan lingkungan hidup. St. Francis melihat seluruh ciptaan sebagai sesama saudara. Bahkan, dalam sebuah legenda, St. Francis dengan bijak mampu menjinakkan serigala yang merusakkan kota, dan akhirnya mampu membuat serigala tersebut bersahabat dengan penduduk kota itu. Dalam cerita yang lain, juga dikisahkan bagaimana St. Francis berkhotbah kepada burung dan juga kepada ikan. Jika, umat percaya mampu mengerti bahwa creation adalah juga bagian dari gereja yang universal maka, umat percaya sesungguhnya dapat bersama dengan St. Francis untuk menaikkan kidung pujian yang bunyinya demikian:
Most High Almighty Good Lord,
Yours are the praises, the glory, the honor, and all blessings!
To you alone, Most High, do they belong,
And no man is worthy to mention you.

Soli Deo Gloria!

492 TAHUN PERINGATAN HARI REFORMASI: ULRICH ZWINGLI, REFORMATOR YANG TERLUPAKAN

PROLOG

Pada bulan Oktober, sebagai mahasiswa seminari yang berlatarbelakang teologi reformed, kita bersama-sama memperingati sebuah kejadian yang bersejarah di dalam dunia teologi Kristen. Lebih tepatnya pada tanggal 31 Oktober, sebuah hari yang kini kita sebut sebagai hari Reformasi. Dimana 492 tahun yang lalu, Martin Luther, rahib radikal Agustinusian itu, memakukan 95 dalil di pintu gereja Wittenberg, menunjukkan sikap menentang gereja Katolik Roma beserta ajaran-ajarannya. Hari yang menandai adanya gerakan yang dapat disebut sebagai sebuah ‘kelahiran baru’ di dalam gereja. Dimulai dari Wittenberg sampai seluruh Jerman, melebar ke Jenewa dan Zurich di Swiss dan kemudian mengelilingi benua Eropa.
Kini, sebagai generasi penerus daripada gerakan reformasi tersebut, pertanyaanya adalah: apa yang dapat kita lakukan untuk memperingatinya? Tentu, salah satunya, dengan menelusuri gerak sejarah pada masa itu, menginterpretasinya, kemudian memaknainya bagi kehidupan kita dalam dunia masa kini, baik di dalam pemahaman teologi dan hal-hal konseptual, sampai aspek-aspek praktis kehidupan Kristiani, salah satunya spiritualitas kita. Sehingga, kita dapat benar-benar bersyukur kepada Allah yang telah bergerak secara nyata di dalam medan sejarah, melalui tokoh-tokoh reformator yang ada.
Maka dari itu akan sangat menarik jika kita mengikuti kehidupan reformator-reformator era tersebut. Tetapi faktanya, seringkali ketika kita mengingat hari reformasi, ingatan kita hanya tertuju pada sosok John Calvin, sosok (yang dianggap) terbesar dari reformator-reformator yang lain, dimana buku Institutio-nya adalah harga mati untuk dibaca dalam studi teologi Kristen. Serta tentu saja, Martin Luther sebagai pemrakarsa awal aksi reformasi gereja di Wittenberg. Dengan mudahnya, kita melupakan (atau malah memang tidak tahu?) tokoh-tokoh lain yang juga memberikan sumbangsih tidak sedikit kepada pemikiran dan reformasi gerejawi. Dalam tulisan yang lebih bersifat esai daripada makalah ilmiah ini, penulis rindu untuk mengangkat salah satu tokoh reformator tersebut. Seorang reformator yang terlupakan, ia adalah Ulrich Zwingli. Penulis ingin mencoba sedikit mengeksplorasi apa yang sejarah katakan mengenai tokoh yang satu ini, memaparkan kontroversi yang ia timbulkan bersama Martin Luther, dan tentu saja merenungkan pesan dari kehidupan tokoh ini bagi kehidupan berteologi era masa kini.

IDENTITAS ZWINGLI

Zwingli (1484-1531) dilahirkan di daerah lembah Toggenburh, pegunungan Alpen beberapa minggu setelah Luther di desa kecil bernama Wildhaus. Berbeda dengan Luther, yang merupakan anak seorang petani, dan harus bekerja keras untuk dapat mengenyam pendidikan, Zwingli adalah anak seorang hakim, keponakan dari petinggi si universitas, sehingga dapat dengan mudah mendapatkan proses pendidikan yang terbaik. Dia belajar di Berne dan Vienna sebelum pemikirannya disempurnakan di Universitas Basel, tempat yang membuat ia tertarik oleh studi humanistik yang pada saat itu sedang berkembang dengan hangat-hangatnya. Di Basel, Zwingli banyak dipengaruhi oleh reformer Thomas Wyttenbach, yang mendorong Zwingli untuk percaya kepada otoritas yang penuh dari Kitab Suci dan juga kepada pengajaran tentang pembenaran oleh anugerah yang didapatkan hanya melalui iman. Zwingli sangat menyukai musik, ia bisa bermain kecapi, harpa, biola, seruling dan beberapa alat musik lain dengan kemampuan yang dapat dipertimbangkan.
Dalam kehidupan secara pribadi, Zwingli sempat bermasalah dalam hubungannya dengan wanita, hal ini dapat ditunjukkan salah satunya karena ia menikahi Anna Reinhart, seorang janda yang mempunyai banyak anak, dan sempat hidup bersama di dalam persembunyian selama dua tahun sebelum mereka benar-benar menikah. Setelah menyelesaikan pendidikannya, Zwingli diangkat sebagai seorang imam katolik dan melayani jemaat gereja di Glarus (1506-1516) dan Einsiedeln (1516-1518) sampai ia dipanggil untuk berkhotbah di GreatMunster (semacam gereja kota) di Zurich.
Secara pribadi Zwingli banyak sekali dipengaruhi oleh humanisme Desiderius Erasmus (perlu diketahui, humanisme yang dimaksud pada waktu itu berbeda dengan paham humanisme yang bergerak pada masa sekarang, humanisme waktu itu berkaitan dengan kembalinya studi kepada sumber-sumber asli untuk mendapatkan pengetahuan) yang membawanya untuk studi mendalam kepada teks-teks dalam bahasa asli kitab suci. Dalam suatu waktu kisaran tahun 1516, setelah penyelidikan secara mendalam di dalam Perjanjian Baru yang diterjemahkan oleh Erasmus dan setelah pergulatan panjang, dia mengalami evangelical breakthrough- pencerahan alkitab- sebagaimana Luther mengalaminya pada waktu yang sama, bahwa reformasi harus segera dilaksanakan. Pengalaman tersebut terus membelokkan dirinya untuk semakin menyerahkan dirinya secara menyeluruh kepada penyelidikan Alkitab, dan hal tersebut juga membuatnya mulai memusuhi sistem abad pertengahan berkaitan dengan isu tentang pengampunan dan relikwi-relikwi gereja, yang ia mulai serang pada 1518. Satu hal yang sangat menarik adalah usaha Zwingli yang sangat keras untuk mempelajari Alkitab di dalam bahasa aslinya, bahkan tanpa seorang pengajar, jadi ia belajar sendiri bahasa Yunani tersebut.
Satu momen yang bersejarah di dalam reformasi datang pada awal tahun 1519 ketika Zwingli memulai pelayanannya di Zurich dengan mengumumkan bahwa tujuannya adalah untuk mengkhotbahkan khotbah yang eksegetis, dimulai dari Injil Matius, dan kemudian sampai keseluruhan Perjanjian Baru (minus Wahyu, karena Zwingli tidak yakin kitab ini layak masuk dalam kanon). Dapat dilihat bahwa Zwingli adalah seorang reformator yang mempunyai kemampuan lengkap, kekuatan dan pengetahuan di dalam studi eksegetikal terhadap Kitab Suci, karakter yang kuat sebagai pemimpin, dan karisma sebagai seorang pengkhotbah. Di dalam dekade akhir dari hidupnya ia menuntun kota Zurich kepada deklarasi mereka untuk mengadakan sebuah perubahan di dalam kehidupan moral dan bermasyarakat (1523). Zwingli menulis beberapa traktat dan membantu di dalam proses komposisi dari konfesi-konfesi iman untuk mempromosikan jalan dari Reformasi (contoh: 10 theses dari Brene, 1528). Zwingli membangun relasi yang baik dengan reformator Swiss yang lain, termasuk Oecolampadius di Basel. Zwingli juga yang menginspirasi lahirnya gerakan Anabaptist, yang disebut sebagai gerakan Radical Reformation. Meski begitu, Zwingli juga memiliki momen-momen dimana ia mengalami ketidaksepakatan dengan Luther mengenai perjamuan Kudus dan di dalam beberapa hal lain, misalnya hubungan gereja dengan negara. Zwingli meninggal ketika melayani sebagai pendeta bagi tentara Zurich yang sedang bertempur dengan wilayah Swiss yang lain di Kappel pada 1531. Sayang sekali, Sang Reformator yang terlupakan itu meninggal di dalam usia yang sangat muda, ketika pemikiran teologinya belum selesai sepenuhnya. Kematiannya yang terburu-buru tersebut yang membuat namanya tenggelam diantara reformator yang lain, seperti Luther misalnya.

ZWINGLI DAN REFORMASI ZURICH

Sebagai seseorang yang sangat dipengaruhi humanisme Erasmus, tentu reformasi yang dijalankan Zwingli di Swiss punya ide yang berbeda bila dibanding dengan reformasi Luther yang dipengaruhi oleh Skolatisisme dan teologi Agustinus. Reformasi Swiss lebih banyak menekankan reformasi secara moral, dengan penekanan atas kebutuhan untuk kelahiran kembali baik dari individu maupun masyarakat, bukan kepada ajaran gereja. Maka dari itu, relevansi Yesus Kristus terutama sebagai teladan dalam bidang moral. Sehingga, reformasi di dalam gereja juga lebih banyak menyangkut kehidupan dan moral tokoh-tokoh dalam gereja daripada ajarannya, salah satu indikasinya adalah di dalam reformasi Swiss tidak banyak terdapat perdebatan tentang doktrin pembenaran oleh iman sebagaimana di Wittenberg. Barangkali hal ini juga dipengaruhi kondisi Zurich dan Swiss secara keseluruhan yang berada dalam masa kegelapan, karena secara ekonomi Zurich adalah kota yang mapan, sehingga materialisme dan sekularisme berkembang dengan pesat. Bahkan, Bullinger pernah mengatakan bahwa kota Zurich di Swiss waktu itu sama seperti kota Korintus di Yunani pada era Perjanjian Baru. Selain itu, Zwingli juga tidak terlalu banyak berhadapan dengan permasalahan penjualan surat pengampunan dosa dari gereja Katolik Roma seperti yang dialami Luther. Bagi Zwingli, pada mulanya reformasi tidak dilihat akan meluas sampai ajaran gereja, namun ia lebih menekankan reformasi di bidang kehidupan bergereja. Dengan demikian, kita bisa melihat perbedaannya dengan reformasi Luther yang memfokuskan diri kepada pembaharuan teologi gereja. Tentang pengertian Zwingli mengenai reformasi, Hillerbard merangkumkan: “for him, ‘reform’ meant reform not only theology and the church, but also of society”

ZWINGLI DAN LUTHER

Zwingli dan Luther hadir pada era yang sama, namun dipengaruhi oleh banyak hal yang berbeda sehingga dalam beberapa hal mereka pun berbeda. Persamaan mereka salah satunya adalah mengenai skema sakramen. Kedua reformator ini menolak skema sakramental abad pertengahan. Jika Gereja Katolik Roma mengajukan tujuh sakramen, para reformator berpegang hanya pada dua sakramen, baptisan dan ekaristi. Tetapi perbedaan mulai terlihat, yang pertama di dalam hubungan antara firman Allah dan sakramen. Luther menganggap firman Allah dan sakramen-sakramen mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya memberikan kesaksian tentang Yesus Kristus dan keduanya menyaksikan kekuasaan dan kehadiran-Nya. Bagi Zwingli, firman Allah yang menciptakan iman dan sakramen yang mendemonstasikan iman itu di hadapan umum. Firman dan Sakramen sama sekali berbeda, yang pertama jauh lebih penting.
Yang kedua, keduanya memang sama-sama mempraktekkan praktik tradisional baptisan anak, namun alasan mereka sangat berbeda. Bagi Luther, sakramen dapat menghasilkan iman di dalam diri seorang bayi, sedangkan bagi Zwingli, baptis anak mempertunjukkan bahwa seorang bayi terhisab di dalam komunitas orang percaya. Mengenai pandangan Zwingli secara pribadi, ia mendapat pertentangan juga dari kelompok pengikutnya yang menolak adanya baptisan anak, yaitu mereka yang kemudian akan dinamai Anabaptis.
Ketiga, Luther masih menghormati keberadaan ekaristi di dalam ibadah, sehingga, ekaristi masih diadakan tiap minggu, sedangkan bagi Zwingli, ekaristi hanya perlu dilakukan beberapa kali dalam setahun, dan posisinya yang utama di dalam ibadah digantikan oleh khotbah.
Keempat, kedua reformator ini menolak ajaran ekaristi abad pertengahan tentang transubstansi, Luther menggantikannya dengan ajaran konsubstansi, yang menekankan bahwa substansi dari roti dan darah menghadirkan bersama-sama substansi tubuh dan darah Kristus, sehingga kehadiran Kristus dapat dirasakan secara nyata ketika sakramen berlangsung. Sedangkan pandangan Zwingli lebih ke arah memorialism, dimana sakramen ekaristi adalah peringatan dari pengorbanan Kristus. Perbedaan pandangan tersebut didasari oleh perbedaan cara menafsir kata-kata Yesus tentang: “ini tubuh dan darahku” yang menurut Zwingli lebih baik dipandang sebagai simbolisme, tidak seperti Luther yang mengartikannya harafiah, bahwa roti dan darah adalah tubuh Kristus sendiri.
Jika memperhatikan perbedaan diantara kedua reformator ini, maka kita bisa melihat (sependapat dengan Allister McGrath), bahwa Zwingli sebenarnya jauh lebih Alkitabiah dan radikal daripada Luther. Luther masih bisa menerima patung-patung hadir di gereja, namun Zwingli sama sekali menolaknya. Satu hal yang seringkali kurang diketahui karena nama Zwingli yang sudah terlanjur kalah duluan oleh kebesaran nama Luther, reformator pada zaman yang sama dengannya dan Calvin, reformator generasi sesudahnya.
PENUTUP; SEBUAH RENUNGAN SINGKAT
Setelah mempelajari Zwingli secara singkat, maka dalam hal apa saja yang generasi masa kini dapat ambil darinya? Pertama, Zwingli amat mencintai Alkitab, hal ini dapat kita lihat pada kesetiaannya untuk membaca Alkitab di dalam bahasa aslinya, dan usahanya untuk membenarkan hal-hal yang salah agar sesuai dengan kesaksian Alkitab. Sejauh mana generasi teolog-teologi masa kini memberikan penekanan kepada pembacaan Alkitab di dalam kehidupan pribadi kita? Jauh melebihi pembacaan terhadap buku-buku pendukung yang tebal, atau buku-buku lain yang berbicara tentang leadership, relation, filsafat dan lain-lain. Mestinya, orang-orang yang menganut prinsip sola scriptura, tentu jauh lebih menekankan pembacaan terhadap Alkitab daripada buku-buku yang lain! Tentu disertai kerinduan yang dalam untuk mengerti segala sesuatu yang ada di dalamnya! Kerinduan untuk memperlengkapi diri dengan lebih baik, melalui pengetahuan tentang latar belakang, gramatikal, dan linguistik, sehingga penafsiran terhadap Kitab Suci dapat dilakukan dengan lebih objektif dan dapat membawa pesan-pesannya ke dalam era masa kini! Dengan memulai diri untuk mencintai Alkitab di atas segalanya, reformasi yang sejati akan dapat kita lakukan di dalam diri kita, di dalam gereja, di lingkungan sekitar kita dan di dalam dunia yang sudah makin bobrok karena hancur-leburnya nilai dan norma-norma masyarakat ini!
Yang kedua, Zwingli menekankan reformasi secara moral di dalam gereja, tentu satu hal yang bisa terus-menerus kita teladani sampai masa kini. Bisa saja teologi dan pengajaran gereja benar, tetapi apakah kehidupan sebagai hamba Tuhan, kehidupan berjemaat dan bergereja sudah sesuai dengan moralitas sebagai pengikut Kristus? Tentu ini akan menjadi sebuah refleksi pribadi, percuma jika kita memberitakan tentang kerajaan Allah, namun di dalam kehidupan kita, seringkali kita menemukan diri kita tidak hidup sebagaimana Kristus hidup! Percuma! Jika di atas mimbar kita mengatakan kebenaran namun dalam kehidupan sehari-hari kita hidup dengan tidak berpadankan kebenaran! Ingat! Orthodoxy yang (diakui) benar mestinya mengarah kepada orthopraxy yang benar! Sudahkah saudara mencapai hal yang demikian?
Akhir kata, karena terbatasnya ruang yang ada untuk menuliskan dan menjelaskan ide-ide dan gagasan reformasi, cukuplah disini penulis mencoba memberikan sedikit relevansi studi sejarah bagi kehidupan kita di masa kini. Semoga dengan ini pembaca yang budiman dapat tertarik untuk secara pribadi mulai belajar sejarah, terkhusus sejarah teologi Kristen, dan dapat mengambil implikasinya bagi kehidupan berteologi, bergereja, bermisi dan bermasyarakat pada era yang menantang kita, era pascamodernitas! Barangkali jika teolog-teolog masa kini dapat mengambil perspektif sejarah, topik-topik penting yang sedang hangat-hangatnya dibicarakan (feminisme, pluralisme, metode penafsiran, soteriologi, pembenaran oleh iman, historical Jesus, etc) dapat kita menggumulkannya, menganalisa, dan kemudian menjawabnya dengan lebih bijaksana dan penuh pertimbangan. Sehingga keputusan yang kita hasilkan mengenai permasalahan-permasalahan teologis tersebut tentu jauh lebih dapat dipertanggungjawabkan secara akademis dan berintegritas secara intelektual!
Mengikuti slogan para reformator, biarlah permenungan ini kita tutup dengan diktum yang sangat sesuai untuk merepresentasikan keberadaan kita sebagai pelayan-pelayanan Firman Allah, yang secara berkesinambungan harus kita perhatikan serta merefleksikannya di dalam kehidupan pelayanan dan kepemimpinan kita: Sola Scriptura! Sola Fide! Sola Gracia! Solus Christus! Soli Deo Gloria!
Laieus Deus! Terpujilah Allah yang bergerak dalam medan sejarah umat manusia!