Sunday, December 13, 2009

CREATION SEBAGAI BAGIAN DARI GEREJA YANG UNIVERSAL: MELENGKAPI EKO-TEOLOGI KRISTEN

PENDAHULUAN

God of the galaxies spinning in space;
God of the smallest seed our living source:
Yours are the gifts of this beautiful space,
Let us care for the garden and honor the earth!


Sebaris syair yang ditulis seorang praktisi eko-teologi tersebut, dapat diterima menjadi sebuah doa yang dapat dilantunkan oleh setiap umat percaya. Di tengah kondisi bumi yang mendekati kehancuran, sudah selayaknya umat manusia mencari pertolongan dan hikmat Allah untuk perlahan melakukan upaya konservasi terhadap alam yang sudah terlanjur dikotori oleh tangan jahat manusia. Tentu saja, sebagai umat yang beriman kepada “khalik langit dan bumi”, umat Kristen adalah garda depan di dalam upaya konservasi alam. Bahkan, teologi Kristen memang sudah menanggapi berbagai kritikan yang menganggap bahwa kesalahan tafsir terhadap Kejadian 1 adalah ‘biang keladi’ kerusakan alam. Hal ini dibuktikan dengan adanya berbagai literatur yang mencoba membangun teologi-lingkungan hidup sebagai dasar perspektif Kristen dan berusaha memberikan kesadaran bahwa umat percaya memiliki tanggung jawab etis bagi keberlangsungan lingkungan hidup. Tulisan ini hanya akan bersifat melengkapi berbagai literatur yang ada, dengan secara khusus menambahkan dari sudut pandang ekklesiologi.
Dalam membangun eko-teologi, para praktisi yang ada kurang sekali memperhatikan keberadaan doktrin ekklesiologi, karena hanya berfokus kepada doktrin penciptaan, doktrin manusia, doktrin penebusan, maupun doktrin eskatologi. Padahal, penulis berpendapat bahwa setiap doktrin Kristiani yang ada memiliki hubungan dengan keberadaan ciptaan. Karena itu, tulisan ini akan memaparkan: pertama-tama, panggilan gereja dalam krisis ekologi, kedua, adanya penebusan terhadap seluruh ciptaan, kemudian menjelaskan analisa creation sebagai bagian dari gereja yang universal, dan terakhir, mencoba memberikan kesimpulan dan implikasi dari analisa yang ada.

PANGGILAN GEREJA DALAM KRISIS EKOLOGI

Kondisi alam dan lingkungan hidup saat ini memang sangat memprihatinkan. Data yang diberikan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) mengungkapkan bahwa 90% aktivitas manusia selama 250 tahun terakhir, terutama sejak Revolusi Industri, telah membuat planet ini semakin panas. Pemanasan global pada permukaan bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18°C selama seratus tahun terakhir, dan model iklim ini akan meningkatkan suhu permukaan global 1.1º hingga 6.4º C antara tahun 1990 dan 2100. Tinggi permukaan laut diseluruh dunia telah meningkat 10-25cm selama abad 20, dan IPCC memprediksikan peningkatan lebih lanjut antara 9-88 cm pada abad 21. Kenaikan 100 cm permukaan laut akan menenggelamkan 6% daerah Belanda dan 17.5% daerah Bangladesh.
Melihat kondisi seperti di atas, cukuplah fakta yang menyatakan bahwa kondisi lingkungan hidup sudah sangat mengkhawatirkan, “alarm krisis ekologi global telah berdering.” Dengan demikian, gereja seharusnya dituntut untuk tanggap dan mencoba memberikan konstribusi signifikan bagi usaha konservasi alam dan lingkungan hidup. Apalagi, alasan teologis adalah salah satu alasan yang seringkali dipakai untuk mendasari adanya eksplorasi terhadap bumi dan materi yang ada di dalamnya. Kesalahan dalam mengerti hubungan manusia, alam dan Tuhan adalah bagian dari motif teologis yang dipakai untuk eksploitasi secara berlebihan. Secara khusus dalam konsep manusia sebagai imago Dei yang diberi mandat untuk menguasai ciptaan yang lain. Dengan adanya salah tafsir terhadap doktrin penciptaan dan dengan dasar Kejadian 9:1, membuat manusia membenarkan diri untuk melakukan eksploitasi terhadap sumber-sumber alam dan menjadikan manusia sebagai tuan dan empunya alam ini. Pandangan teologis tersebut banyak dipengaruhi oleh perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan era abad Pencerahan. Maka dari itu, penulis menyimpulkan bahwa teologi Kristen sendiri “digarami” oleh keberadaan pemikiran-pemikiran yang ada di dunia. Lalu, apa tanggapan gereja terhadap kenyataan pahit yang demikian?
Sebagaimana mestinya, gereja harus mulai membangun suatu teologi yang menyeluruh, bukan lagi bersifat antroposentris, tapi teologi yang teosentris, sehingga dapat mengantisipasi tantangan yang ada. Dalam kaitannya dengan krisis ekologi, gereja selayaknya memikirkan suatu eko-teologi yang dapat mencapai tataran jemaat awam. Kaum Evangelikal telah menyadari hal ini, dan bahkan sudah melakukan sebuah deklarasi untuk menyerukan kesadaran umat bagi pemeliharaan lingkungan. Tetapi patut disayangkan, tetap saja deklarasi ini baru sampai kepada kaum intelektual dan belum sampai kepada tatanan umat yang ada di bawah. Kondisi yang kurang ideal ini dapat menemukan solusinya, jika gereja memperhatikan eksistensi ciptaan dalam tempat yang tepat. Namun, sebelum sampai kepada pemahaman tersebut gereja harus memiliki dasar pijakan yang kuat yaitu teologi penebusan seluruh ciptaan di dalam Kristus.

PENEBUSAN SELURUH CIPTAAN

Sebelum melangkah lebih jauh, perlu dimengerti bahwa dalam eko-teologi Kristen pemakaian terminologi bagi alam dan lingkungan hidup adalah creation (ciptaan) karena sesuai dengan iman Kristen bahwa bumi, alam dan lingkungan hidup adalah ciptaan dan milik Allah. Kemudian, dalam teologi/doktrin penebusan, memang harus diakui bahwa umat manusia adalah objek dan fokus utama dari keselamatan (Ibr. 2:14-16), namun pembaharuan kepada seluruh ciptaan akan dialami pula baik kepada ciptaan yang ada di surga maupun yang ada di bumi (Why. 21). Maka teologi penebusan harus memperhatikan alam dan lingkungan hidup sebagai bagian dari ciptaan yang telah ditebus. Kejatuhan manusia di dalam dosa (Kej. 3) memiliki dampak terhadap kondisi seluruh ciptaan. Pemberontakan manusia kepada Allah, mengakibatkan rusaknya hubungan antara manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan sesamanya dan juga hubungan manusia dengan alam. Namun, dalam kerangka perjanjian Allah (Kej. 9) ciptaan akan dipulihkan lagi dan bersama-sama dengan seluruh bagian di dalamnya akan mengalami sebuah shalom. Visi pemulihan seluruh ciptaan ini tergambar dengan jelas dalam kitab Yesaya 11: 6-9, serta dalam perjanjian pemulihan Israel, tercakup juga janji pemulihan alam semesta (Hos. 2:17-22) . Terlebih lagi, sangat jelas bahwa sukacita pemulihan itu bukan hanya akan dinikmati oleh manusia saja, tetapi bersama-sama seluruh ciptaan (Yes. 65:17-25). Jadi, di hadapan Allah manusia memiliki kedudukan yang sama dan sejajar dengan alam, yaitu sebagai bagian dari ciptaan, meskipun memiliki fungsi yang berbeda.
Di tengah kondisi alam dan manusia yang membutuhkan pembaharuan, maka Allah datang ke dunia ini melalui Tuhan Yesus Kristus sebagai puncak dari pembaharuan dan penebusan terhadap seluruh dunia. Prediger mencantumkan alasan yang kuat mengenai mengapa hal ini layak dilakukan oleh Allah: “We lived in a cosmos designed by God. In this God-wrought world it is Love that moves the spheres and holds the world together.” Karena Allah begitu mencintai dunia ini, maka Allah akan melakukan tindakan penebusan bagi seluruh ciptaan (Yoh. 3: 16). Disini terlihat bahwa soteriologi akan menjadi pusat daripada semua teologi kaum evangelikal. Teks yang ada dalam Kolose adalah bagian yang jelas untuk pengajaran bahwa di dalam Kristus semua ciptaan diperdamaikan. Kolose 1:20 menegaskan: “dan oleh Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di sorga, sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus”.
Manusia tentu adalah fokus penebusan karena manusia adalah mahkota dari seluruh ciptaan. Namun dengan adanya pembebasan manusia dari dosa tersebut berdampak sangat luas dan mendatangkan perubahan bagi semua ciptaan Allah. Lewat penebusan, semua hubungan yang rusak akan dipulihkan kembali secara total. Perspektif penebusan seluruh ciptaan juga didasari teks Paulus dalam Roma 8:20-21. Teks ini menunjukkan janji dan pengharapan bagi adanya pembebasan bagi semua ciptaan yang terjadi secara universal. Selain itu teks ini menunjukkan bahwa:
“penebusan ini adalah sebuah peristiwa pembebasan dari pembusukan (decaying). Ini dapat dipahami sebagai sebuah eliminasi terhadap kematian, artinya, semua makhluk tidak akan mengalami pemangsaan (predation), penyesuaian diri (adaptation) atau perubahan (evolution) lagi dalam langit dan bumi yang baru. Jadi, penebusan ciptaan sebaiknya dimengerti dalam hubungannya dengan penyembuhan, pemulihan dan terutama ‘kebangkitan’ semua ciptaan Allah.”
Penebusan semua ciptaan yang dicapai dalam salib Kristus mendapatkan vindikasi oleh kebangkitan Kristus. Kebangkitan Kristus tidak hanya berdampak kepada manusia tetapi juga seluruh ciptaan. Pengertian penebusan seluruh ciptaan juga harus dilihat dari perspektif eskatologis, karena baru pada ketika masa kedatangan Tuhan Yesus Kristus yang kedua kali, maka seluruh ciptaan akan mengalami penebusan yang sempurna. Bukankah teologi Kristen lebih berbicara tentang pembaharuan ciptaan, bukan pada penghancuran terhadapnya? Prediger mengatakan demikian “An orthodox Christian eschatology speaks not of the annihilation of the earth but of its renewal and restoration.” Fakta di atas adalah dasar pijakan bagi membangun perspektif berikutnya: creation sebagai bagian gereja yang universal.

CREATION SEBAGAI BAGIAN GEREJA YANG UNIVERSAL

Ketika manusia ditebus, maka personal yang telah diselamatkan melalui iman kepada Yesus Kristus akan menjadi bagian dalam suatu komunitas umat percaya, yaitu, gereja. Bagian ini akan menjelaskan makna dan natur gereja, pengajaran gereja yang universal dan hubungannya dengan ekologi, dan terakhir menjelaskan analisa mengapa creation dapat menjadi bagian dari gereja yang universal.

Gereja, natur dan fungsinya

Kata gereja atau church berasal dari kata Yunani kuriakon. Merupakan bentuk adjektif netral dari kurios (Lord), sehingga bermakna ‘milik dari Tuhan.’ Selain itu, kata gereja juga berasal dari kata ekklesia yang berarti ‘memanggil.’ Jadi, gereja adalah suatu ‘kelompok yang dipanggil keluar.’ Grudem memberikan definisi yang mungkin lebih jelas: The Church is the community of all true believers for all time. Definisi ini memberikan pengertian bahwa gereja dibangun untuk keberadaan semua yang sudah diselamatkan, dan juga semua umat percaya dari segala jaman, baik yang ada di dalam kerangka Perjanjian Lama, maupun Perjanjian Baru.
Sebenarnya, pengertian gereja Kristen sendiri baru dimulai setelah peristiwa kenaikan Tuhan Yesus dan secara khusus dalam doktrin yang Paulus tuliskan dalam surat-suratnya. Natur gereja dalam Perjanjian Baru adalah sebagai kelompok orang percaya yang dipanggil dalam Yesus Kristus. Gereja adalah sebuah organisme yang hidup dan dibangun oleh Yesus Kristus sendiri (Mat. 16:18). Berbagai metafora yang ada dalam kitab suci menggambarkan natur daripada gereja, antara lain, gereja sebagai tubuh Kristus, gereja sebagai mempelai perempuan, gereja sebagai bangunan, gereja sebagai keimaman, gereja sebagai kawanan domba, dan gereja sebagai ranting daripada pokok anggur Kristus Yesus. Rencana Allah bagi gereja-Nya sangat luar biasa karena Ia memberikan tempat kepada Kristus dalam posisi yang otoritatif bagi gereja, dimana hal demikian dicatat dalam Efesus 1:20-23.
Berkaitan dengan fungsi gereja sendiri, Grudem menjelaskan tiga hal, yaitu pelayanan kepada Allah dalam kaitannya dengan penyembahan, kedua, dalam pelayanan kepada umat percaya, yaitu dalam pertumbuhan rohani mereka, terakhir, dalam pelayanan kepada dunia, yaitu penginjilan dan menjadi berkat bagi bangsa-bangsa. Dalam hubungannya dengan ekologi, Santmire menambahkan empat panggilan gereja: untuk bekerjasama dengan alam secara spiritual, untuk memelihara alam secara sensitif, untuk memimpikan alam yang diberkati, dan untuk mengantisipasi kedatangan Tuhan dengan sukacita. Setelah, melihat natur dan fungsi gereja yang demikian, maka bagian berikutnya akan menjelaskan hubungan-hubungan yang ada antara gereja universal dengan ekologi.




Gereja yang universal dan ekologi

Bagi Enns, jika gereja lokal melihat gereja sebagai umat percaya yang berkumpul di lokasi tertentu, gereja universal dipandang sebagai ‘keduanya, pada zaman ini dilahirkan dari Roh Allah, dan oleh roh yang sama telah dibaptis dalam Tubuh Kristus (1Kor. 12:13; 1Ptr. 1-3, 22-25).’ Selain itu Enns juga menambahkan: Penekanan khusus dari gereja universal adalah kesatuannya, baik Yahudi maupun non-Yahudi, semuanya membentuk suatu tubuh, dalam kesatuan yang dihasilkan oleh Roh Kudus (Gal. 3:28); Ef. 4:4). Terlalu banyak figur-figur yang digambarkan dalam kitab suci mengenai relasi antara Kristus dan gereja. Namun gambaran yang paling tepat bagi hubungan gereja-Kristus dengan alam-Kristus adalah metafora gereja sebagai tubuh Kristus. Metafora ini menggambarkan sebuah kesatuan dan universalitas dari gereja karena memakai kata tubuh. Kristus sebagai kepala gereja memiliki otoritas dan memberikan tuntunan kepadanya (Ef. 1:22-23, Kol 1:18). Dalam gereja yang universal, tidak ada perbedaan, semua satu di dalam Kristus (1Kor 12:13; Ef 2:16; 4:4).
Metafora gereja sebagai tubuh kristus di atas, sangat dekat dengan metafora yang Sallie McFague sarankan: The Worlds as God’s Body. Dimana dengan metafora ini McFague mengkritik monarchial model yang melihat Allah sebagai raja. Model monarkhial ini menurut McFague sangat berbahaya karena: metafora ini menguatkan perasaan berbeda dengan dunia, metafora ini hanya untuk dimensi manusia dan bukan untuk dunia serta metafora ini mendukung dominasi manusia kepada dunia. Maka dari itu, McFague menyarankan suatu metafora yang baru, alam sebagai tubuh Allah. Memang sangat mirp dengan Panteisme, tapi McFague berpendapat bahwa metafora ini bersifat monistis-panenteistis. Dengan metafota ini McFague menyarankan melihat alam ciptaan sebagai tubuh, dan Allah sebagai kepalanya. Jika manusia menyakiti dunia yang adalah tubuh, maka manusia menyakiti Allah secara langsung. Sehingga secara langsung metafora ini memberikan sikap yang holistik bagi respon dan pemeliharaan ciptaan.
Kemudian, mengenai natur dari gereja dan dalam kaitannya dengan ekologi-teologi, natur yang paling dekat dengan alam adalah gereja sebagai alat memuliakan Allah. The Universal Church is Doxological. Hal ini disebabkan karena tujuan hakiki dari keberadaan gereja adalah untuk membawa kemuliaan bagi Allah. Secara spesifik, Paulus menyebutkanya dalam Efesus 1:6, 12; 3:21; 1 Timotius 1:17, selain itu juga dalam pewahyuan Yohanes di Wahyu 4:9; 5:12. Bukankah, natur daripada ciptaan adalah juga demikian? Bahwa bumi dan segala isinya diciptakan sebagai arena panggung kemuliaan Allah. Dengan dua hubungan di atas cukuplah untuk menyimpulkan relasi alam dengan gereja, ciptaan adalah bagian juga dari universal church.

Creation sebagai bagian dari universal church

Melihat fakta bahwa ciptaan adalah bagian dari penebusan yang Kristus lakukan, serta adanya kedekatan antara metafora gereja sebagai tubuh Kristus dan alam sebagai tubuh Allah, serta kesamaan natur gereja dan ciptaan sebagai alat kemuliaan Allah. Maka, dalam tiga silogisme sederhana dapat dicapai hasil sebagai berikut:

Premis Umum : Gereja secara universal adalah kumpulan umat yang ditebus
Premis Khusus : Ciptaan adalah bagian dari penebusan
Kesimpulan : Ciptaan adalah bagian dari gereja yang universal

Premis Umum : Gereja secara universal adalah tubuh Kristus
Premis Khusus : Ciptaan adalah tubuh Allah
Kesimpulan : Ciptaan adalah bagian dari gereja secara universal

Premis Umum : Gereja secara universal adalah alat kemuliaan Allah
Premis Khusus : Ciptaan juga adalah alat kemuliaan Allah
Kesimpulan : Ciptaan adalah bagian dari gereja yang universal

Silogisme dari tiga pemikiran yang berbeda di atas membawa ke dalam sebuah kesimpulan yang menyeluruh: ciptaan harus dipandang sebagai bagian dari gereja yang universal, bagian dari hasil penebusan Tuhan Yesus Kristus, yang membawa ke dalam kesatuan tubuh Kristus dan sebagai alat yang sama untuk memuliakan Allah. Hal ini mendapat dukungan biblis yang lebih kuat dari teks Efesus 1:22-23 “Dan segala sesuatu telah diletakkan-Nya di bawah kaki Kristus dan Dia telah diberikan-Nya kepada jemaat sebagai Kepala dari segala yang ada. Jemaat yang adalah tubuh-Nya, yaitu kepenuhan Dia, yang memenuhi semua dan segala sesuatu.” Kesimpulan ini harus mendapat perhatian khusus yaitu, ciptaan bukan merupakan sesuatu yang eksistensinya yang berada di bawah gereja, yaitu gereja lokal, tapi ciptaan bersama gereja lokal menempati kedudukan yang setara di dalam satu bagian gereja universal.

Kesimpulan dan implikasi

Dengan melihat kesimpulan dari analisa di atas bahwa ciptaan sebagai bagian dari gereja yang universal, maka setidaknya, penulis memberikan beberapa implikasi yang mungkin relevan: Pertama, gereja melihat permasalahan ekologi dengan perspektif yang utuh, teologi yang dibangun tidak bersifat antroposentris, namun sangat teosentris , sehingga alam dan lingkungan menjadi satu bagian dalam teologi Kristen. Kedua, gereja sudah seharusnya berpikir lebih revolusioner, dengan melakukan aksi-aksi nyata dalam keterlibatan mereka dalam mengatasi permasalahan ekologi. Dalam hal ini, gereja, setidaknya dapat menyumbangkan sebagian dana gereja untuk mendukung misi gerakan penghijauan atau konservasi alam. Ketiga, gereja harus sedapat mungkin memperkenalkan eko-teologi yang utuh kepada jemaat awam, mulai dari sekolah minggu, kelas katekisasi, maupun susunan liturgi yang memperhatikan keberadaan alam-ciptaan. Terakhir, secara praktis, penulis menyarankan, pada khususnya gereja lokal, untuk mulai memperhatikan bangunan gereja yang ada, apakah bangunan gereja bersahabat dengan alam atau tidak, selain itu apakah kehidupan hamba-hamba Tuhan yang ada menunjukkan respek kepada alam ciptaan.

PENUTUP

St. Francis dari Asisi (1182-1226), yang di tetapkan sebagai santo pelindung lingkungan hidup oleh pemerintahan gereja katolik Roma, dapat menjadi teladan bagi keberadaan relasi antara gereja dan lingkungan hidup. St. Francis melihat seluruh ciptaan sebagai sesama saudara. Bahkan, dalam sebuah legenda, St. Francis dengan bijak mampu menjinakkan serigala yang merusakkan kota, dan akhirnya mampu membuat serigala tersebut bersahabat dengan penduduk kota itu. Dalam cerita yang lain, juga dikisahkan bagaimana St. Francis berkhotbah kepada burung dan juga kepada ikan. Jika, umat percaya mampu mengerti bahwa creation adalah juga bagian dari gereja yang universal maka, umat percaya sesungguhnya dapat bersama dengan St. Francis untuk menaikkan kidung pujian yang bunyinya demikian:
Most High Almighty Good Lord,
Yours are the praises, the glory, the honor, and all blessings!
To you alone, Most High, do they belong,
And no man is worthy to mention you.

Soli Deo Gloria!

1 comment:

Hendra Fongaja said...

Nice artikel,, Mengingatkan kembali akan penebusan holistik antara natur dan manusia.
So, kita gak boleh hidup jorok dan merusak lingkungan yah :p