PROLOG
Pada bulan Oktober, sebagai mahasiswa seminari yang berlatarbelakang teologi reformed, kita bersama-sama memperingati sebuah kejadian yang bersejarah di dalam dunia teologi Kristen. Lebih tepatnya pada tanggal 31 Oktober, sebuah hari yang kini kita sebut sebagai hari Reformasi. Dimana 492 tahun yang lalu, Martin Luther, rahib radikal Agustinusian itu, memakukan 95 dalil di pintu gereja Wittenberg, menunjukkan sikap menentang gereja Katolik Roma beserta ajaran-ajarannya. Hari yang menandai adanya gerakan yang dapat disebut sebagai sebuah ‘kelahiran baru’ di dalam gereja. Dimulai dari Wittenberg sampai seluruh Jerman, melebar ke Jenewa dan Zurich di Swiss dan kemudian mengelilingi benua Eropa.
Kini, sebagai generasi penerus daripada gerakan reformasi tersebut, pertanyaanya adalah: apa yang dapat kita lakukan untuk memperingatinya? Tentu, salah satunya, dengan menelusuri gerak sejarah pada masa itu, menginterpretasinya, kemudian memaknainya bagi kehidupan kita dalam dunia masa kini, baik di dalam pemahaman teologi dan hal-hal konseptual, sampai aspek-aspek praktis kehidupan Kristiani, salah satunya spiritualitas kita. Sehingga, kita dapat benar-benar bersyukur kepada Allah yang telah bergerak secara nyata di dalam medan sejarah, melalui tokoh-tokoh reformator yang ada.
Maka dari itu akan sangat menarik jika kita mengikuti kehidupan reformator-reformator era tersebut. Tetapi faktanya, seringkali ketika kita mengingat hari reformasi, ingatan kita hanya tertuju pada sosok John Calvin, sosok (yang dianggap) terbesar dari reformator-reformator yang lain, dimana buku Institutio-nya adalah harga mati untuk dibaca dalam studi teologi Kristen. Serta tentu saja, Martin Luther sebagai pemrakarsa awal aksi reformasi gereja di Wittenberg. Dengan mudahnya, kita melupakan (atau malah memang tidak tahu?) tokoh-tokoh lain yang juga memberikan sumbangsih tidak sedikit kepada pemikiran dan reformasi gerejawi. Dalam tulisan yang lebih bersifat esai daripada makalah ilmiah ini, penulis rindu untuk mengangkat salah satu tokoh reformator tersebut. Seorang reformator yang terlupakan, ia adalah Ulrich Zwingli. Penulis ingin mencoba sedikit mengeksplorasi apa yang sejarah katakan mengenai tokoh yang satu ini, memaparkan kontroversi yang ia timbulkan bersama Martin Luther, dan tentu saja merenungkan pesan dari kehidupan tokoh ini bagi kehidupan berteologi era masa kini.
IDENTITAS ZWINGLI
Zwingli (1484-1531) dilahirkan di daerah lembah Toggenburh, pegunungan Alpen beberapa minggu setelah Luther di desa kecil bernama Wildhaus. Berbeda dengan Luther, yang merupakan anak seorang petani, dan harus bekerja keras untuk dapat mengenyam pendidikan, Zwingli adalah anak seorang hakim, keponakan dari petinggi si universitas, sehingga dapat dengan mudah mendapatkan proses pendidikan yang terbaik. Dia belajar di Berne dan Vienna sebelum pemikirannya disempurnakan di Universitas Basel, tempat yang membuat ia tertarik oleh studi humanistik yang pada saat itu sedang berkembang dengan hangat-hangatnya. Di Basel, Zwingli banyak dipengaruhi oleh reformer Thomas Wyttenbach, yang mendorong Zwingli untuk percaya kepada otoritas yang penuh dari Kitab Suci dan juga kepada pengajaran tentang pembenaran oleh anugerah yang didapatkan hanya melalui iman. Zwingli sangat menyukai musik, ia bisa bermain kecapi, harpa, biola, seruling dan beberapa alat musik lain dengan kemampuan yang dapat dipertimbangkan.
Dalam kehidupan secara pribadi, Zwingli sempat bermasalah dalam hubungannya dengan wanita, hal ini dapat ditunjukkan salah satunya karena ia menikahi Anna Reinhart, seorang janda yang mempunyai banyak anak, dan sempat hidup bersama di dalam persembunyian selama dua tahun sebelum mereka benar-benar menikah. Setelah menyelesaikan pendidikannya, Zwingli diangkat sebagai seorang imam katolik dan melayani jemaat gereja di Glarus (1506-1516) dan Einsiedeln (1516-1518) sampai ia dipanggil untuk berkhotbah di GreatMunster (semacam gereja kota) di Zurich.
Secara pribadi Zwingli banyak sekali dipengaruhi oleh humanisme Desiderius Erasmus (perlu diketahui, humanisme yang dimaksud pada waktu itu berbeda dengan paham humanisme yang bergerak pada masa sekarang, humanisme waktu itu berkaitan dengan kembalinya studi kepada sumber-sumber asli untuk mendapatkan pengetahuan) yang membawanya untuk studi mendalam kepada teks-teks dalam bahasa asli kitab suci. Dalam suatu waktu kisaran tahun 1516, setelah penyelidikan secara mendalam di dalam Perjanjian Baru yang diterjemahkan oleh Erasmus dan setelah pergulatan panjang, dia mengalami evangelical breakthrough- pencerahan alkitab- sebagaimana Luther mengalaminya pada waktu yang sama, bahwa reformasi harus segera dilaksanakan. Pengalaman tersebut terus membelokkan dirinya untuk semakin menyerahkan dirinya secara menyeluruh kepada penyelidikan Alkitab, dan hal tersebut juga membuatnya mulai memusuhi sistem abad pertengahan berkaitan dengan isu tentang pengampunan dan relikwi-relikwi gereja, yang ia mulai serang pada 1518. Satu hal yang sangat menarik adalah usaha Zwingli yang sangat keras untuk mempelajari Alkitab di dalam bahasa aslinya, bahkan tanpa seorang pengajar, jadi ia belajar sendiri bahasa Yunani tersebut.
Satu momen yang bersejarah di dalam reformasi datang pada awal tahun 1519 ketika Zwingli memulai pelayanannya di Zurich dengan mengumumkan bahwa tujuannya adalah untuk mengkhotbahkan khotbah yang eksegetis, dimulai dari Injil Matius, dan kemudian sampai keseluruhan Perjanjian Baru (minus Wahyu, karena Zwingli tidak yakin kitab ini layak masuk dalam kanon). Dapat dilihat bahwa Zwingli adalah seorang reformator yang mempunyai kemampuan lengkap, kekuatan dan pengetahuan di dalam studi eksegetikal terhadap Kitab Suci, karakter yang kuat sebagai pemimpin, dan karisma sebagai seorang pengkhotbah. Di dalam dekade akhir dari hidupnya ia menuntun kota Zurich kepada deklarasi mereka untuk mengadakan sebuah perubahan di dalam kehidupan moral dan bermasyarakat (1523). Zwingli menulis beberapa traktat dan membantu di dalam proses komposisi dari konfesi-konfesi iman untuk mempromosikan jalan dari Reformasi (contoh: 10 theses dari Brene, 1528). Zwingli membangun relasi yang baik dengan reformator Swiss yang lain, termasuk Oecolampadius di Basel. Zwingli juga yang menginspirasi lahirnya gerakan Anabaptist, yang disebut sebagai gerakan Radical Reformation. Meski begitu, Zwingli juga memiliki momen-momen dimana ia mengalami ketidaksepakatan dengan Luther mengenai perjamuan Kudus dan di dalam beberapa hal lain, misalnya hubungan gereja dengan negara. Zwingli meninggal ketika melayani sebagai pendeta bagi tentara Zurich yang sedang bertempur dengan wilayah Swiss yang lain di Kappel pada 1531. Sayang sekali, Sang Reformator yang terlupakan itu meninggal di dalam usia yang sangat muda, ketika pemikiran teologinya belum selesai sepenuhnya. Kematiannya yang terburu-buru tersebut yang membuat namanya tenggelam diantara reformator yang lain, seperti Luther misalnya.
ZWINGLI DAN REFORMASI ZURICH
Sebagai seseorang yang sangat dipengaruhi humanisme Erasmus, tentu reformasi yang dijalankan Zwingli di Swiss punya ide yang berbeda bila dibanding dengan reformasi Luther yang dipengaruhi oleh Skolatisisme dan teologi Agustinus. Reformasi Swiss lebih banyak menekankan reformasi secara moral, dengan penekanan atas kebutuhan untuk kelahiran kembali baik dari individu maupun masyarakat, bukan kepada ajaran gereja. Maka dari itu, relevansi Yesus Kristus terutama sebagai teladan dalam bidang moral. Sehingga, reformasi di dalam gereja juga lebih banyak menyangkut kehidupan dan moral tokoh-tokoh dalam gereja daripada ajarannya, salah satu indikasinya adalah di dalam reformasi Swiss tidak banyak terdapat perdebatan tentang doktrin pembenaran oleh iman sebagaimana di Wittenberg. Barangkali hal ini juga dipengaruhi kondisi Zurich dan Swiss secara keseluruhan yang berada dalam masa kegelapan, karena secara ekonomi Zurich adalah kota yang mapan, sehingga materialisme dan sekularisme berkembang dengan pesat. Bahkan, Bullinger pernah mengatakan bahwa kota Zurich di Swiss waktu itu sama seperti kota Korintus di Yunani pada era Perjanjian Baru. Selain itu, Zwingli juga tidak terlalu banyak berhadapan dengan permasalahan penjualan surat pengampunan dosa dari gereja Katolik Roma seperti yang dialami Luther. Bagi Zwingli, pada mulanya reformasi tidak dilihat akan meluas sampai ajaran gereja, namun ia lebih menekankan reformasi di bidang kehidupan bergereja. Dengan demikian, kita bisa melihat perbedaannya dengan reformasi Luther yang memfokuskan diri kepada pembaharuan teologi gereja. Tentang pengertian Zwingli mengenai reformasi, Hillerbard merangkumkan: “for him, ‘reform’ meant reform not only theology and the church, but also of society”
ZWINGLI DAN LUTHER
Zwingli dan Luther hadir pada era yang sama, namun dipengaruhi oleh banyak hal yang berbeda sehingga dalam beberapa hal mereka pun berbeda. Persamaan mereka salah satunya adalah mengenai skema sakramen. Kedua reformator ini menolak skema sakramental abad pertengahan. Jika Gereja Katolik Roma mengajukan tujuh sakramen, para reformator berpegang hanya pada dua sakramen, baptisan dan ekaristi. Tetapi perbedaan mulai terlihat, yang pertama di dalam hubungan antara firman Allah dan sakramen. Luther menganggap firman Allah dan sakramen-sakramen mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya memberikan kesaksian tentang Yesus Kristus dan keduanya menyaksikan kekuasaan dan kehadiran-Nya. Bagi Zwingli, firman Allah yang menciptakan iman dan sakramen yang mendemonstasikan iman itu di hadapan umum. Firman dan Sakramen sama sekali berbeda, yang pertama jauh lebih penting.
Yang kedua, keduanya memang sama-sama mempraktekkan praktik tradisional baptisan anak, namun alasan mereka sangat berbeda. Bagi Luther, sakramen dapat menghasilkan iman di dalam diri seorang bayi, sedangkan bagi Zwingli, baptis anak mempertunjukkan bahwa seorang bayi terhisab di dalam komunitas orang percaya. Mengenai pandangan Zwingli secara pribadi, ia mendapat pertentangan juga dari kelompok pengikutnya yang menolak adanya baptisan anak, yaitu mereka yang kemudian akan dinamai Anabaptis.
Ketiga, Luther masih menghormati keberadaan ekaristi di dalam ibadah, sehingga, ekaristi masih diadakan tiap minggu, sedangkan bagi Zwingli, ekaristi hanya perlu dilakukan beberapa kali dalam setahun, dan posisinya yang utama di dalam ibadah digantikan oleh khotbah.
Keempat, kedua reformator ini menolak ajaran ekaristi abad pertengahan tentang transubstansi, Luther menggantikannya dengan ajaran konsubstansi, yang menekankan bahwa substansi dari roti dan darah menghadirkan bersama-sama substansi tubuh dan darah Kristus, sehingga kehadiran Kristus dapat dirasakan secara nyata ketika sakramen berlangsung. Sedangkan pandangan Zwingli lebih ke arah memorialism, dimana sakramen ekaristi adalah peringatan dari pengorbanan Kristus. Perbedaan pandangan tersebut didasari oleh perbedaan cara menafsir kata-kata Yesus tentang: “ini tubuh dan darahku” yang menurut Zwingli lebih baik dipandang sebagai simbolisme, tidak seperti Luther yang mengartikannya harafiah, bahwa roti dan darah adalah tubuh Kristus sendiri.
Jika memperhatikan perbedaan diantara kedua reformator ini, maka kita bisa melihat (sependapat dengan Allister McGrath), bahwa Zwingli sebenarnya jauh lebih Alkitabiah dan radikal daripada Luther. Luther masih bisa menerima patung-patung hadir di gereja, namun Zwingli sama sekali menolaknya. Satu hal yang seringkali kurang diketahui karena nama Zwingli yang sudah terlanjur kalah duluan oleh kebesaran nama Luther, reformator pada zaman yang sama dengannya dan Calvin, reformator generasi sesudahnya.
PENUTUP; SEBUAH RENUNGAN SINGKAT
Setelah mempelajari Zwingli secara singkat, maka dalam hal apa saja yang generasi masa kini dapat ambil darinya? Pertama, Zwingli amat mencintai Alkitab, hal ini dapat kita lihat pada kesetiaannya untuk membaca Alkitab di dalam bahasa aslinya, dan usahanya untuk membenarkan hal-hal yang salah agar sesuai dengan kesaksian Alkitab. Sejauh mana generasi teolog-teologi masa kini memberikan penekanan kepada pembacaan Alkitab di dalam kehidupan pribadi kita? Jauh melebihi pembacaan terhadap buku-buku pendukung yang tebal, atau buku-buku lain yang berbicara tentang leadership, relation, filsafat dan lain-lain. Mestinya, orang-orang yang menganut prinsip sola scriptura, tentu jauh lebih menekankan pembacaan terhadap Alkitab daripada buku-buku yang lain! Tentu disertai kerinduan yang dalam untuk mengerti segala sesuatu yang ada di dalamnya! Kerinduan untuk memperlengkapi diri dengan lebih baik, melalui pengetahuan tentang latar belakang, gramatikal, dan linguistik, sehingga penafsiran terhadap Kitab Suci dapat dilakukan dengan lebih objektif dan dapat membawa pesan-pesannya ke dalam era masa kini! Dengan memulai diri untuk mencintai Alkitab di atas segalanya, reformasi yang sejati akan dapat kita lakukan di dalam diri kita, di dalam gereja, di lingkungan sekitar kita dan di dalam dunia yang sudah makin bobrok karena hancur-leburnya nilai dan norma-norma masyarakat ini!
Yang kedua, Zwingli menekankan reformasi secara moral di dalam gereja, tentu satu hal yang bisa terus-menerus kita teladani sampai masa kini. Bisa saja teologi dan pengajaran gereja benar, tetapi apakah kehidupan sebagai hamba Tuhan, kehidupan berjemaat dan bergereja sudah sesuai dengan moralitas sebagai pengikut Kristus? Tentu ini akan menjadi sebuah refleksi pribadi, percuma jika kita memberitakan tentang kerajaan Allah, namun di dalam kehidupan kita, seringkali kita menemukan diri kita tidak hidup sebagaimana Kristus hidup! Percuma! Jika di atas mimbar kita mengatakan kebenaran namun dalam kehidupan sehari-hari kita hidup dengan tidak berpadankan kebenaran! Ingat! Orthodoxy yang (diakui) benar mestinya mengarah kepada orthopraxy yang benar! Sudahkah saudara mencapai hal yang demikian?
Akhir kata, karena terbatasnya ruang yang ada untuk menuliskan dan menjelaskan ide-ide dan gagasan reformasi, cukuplah disini penulis mencoba memberikan sedikit relevansi studi sejarah bagi kehidupan kita di masa kini. Semoga dengan ini pembaca yang budiman dapat tertarik untuk secara pribadi mulai belajar sejarah, terkhusus sejarah teologi Kristen, dan dapat mengambil implikasinya bagi kehidupan berteologi, bergereja, bermisi dan bermasyarakat pada era yang menantang kita, era pascamodernitas! Barangkali jika teolog-teolog masa kini dapat mengambil perspektif sejarah, topik-topik penting yang sedang hangat-hangatnya dibicarakan (feminisme, pluralisme, metode penafsiran, soteriologi, pembenaran oleh iman, historical Jesus, etc) dapat kita menggumulkannya, menganalisa, dan kemudian menjawabnya dengan lebih bijaksana dan penuh pertimbangan. Sehingga keputusan yang kita hasilkan mengenai permasalahan-permasalahan teologis tersebut tentu jauh lebih dapat dipertanggungjawabkan secara akademis dan berintegritas secara intelektual!
Mengikuti slogan para reformator, biarlah permenungan ini kita tutup dengan diktum yang sangat sesuai untuk merepresentasikan keberadaan kita sebagai pelayan-pelayanan Firman Allah, yang secara berkesinambungan harus kita perhatikan serta merefleksikannya di dalam kehidupan pelayanan dan kepemimpinan kita: Sola Scriptura! Sola Fide! Sola Gracia! Solus Christus! Soli Deo Gloria!
Laieus Deus! Terpujilah Allah yang bergerak dalam medan sejarah umat manusia!
A major new article on the Distigmai in Codex Vaticanus
-
Just in time for Christmas:
Nehemia Gordon, Patrick Andrist, Oliver Hahn, Pavlos D. Vasileiadis, Nelson
Calvillo, and
Ira Rabin, ‘Did the Original Scri...
4 days ago
1 comment:
mantap artikelnya gan...tks karena sudah beri pencerahan
Post a Comment