Monday, June 28, 2010

Antara Andrea Hirata, Kopi dan Tuhan





Sejak kemarin aku membaca dan menghabiskan novel terbaru dari salah satu sastrawan Indonesia yang aku kagumi: Andrea Hirata. Ya, aku suka membaca. Dari buku teologi yang bersifat abstraksi, sampai novel-novel roman, sentimentil, serta spiritual. Ayu Utami, Dewi Lestari, dan Andrea Hirata sendiri, adalah sebagian dari penulis Indonesia yang aku sukai. Ditengah penatnya memikirkan teologi ilmiah dan teologi jemaat yang tak kunjung usai, membaca buku-buku mereka bisa menjadi petualangan spiritual alternatif bagi diriku sendiri. Kali ini, isi buku dwilogi terbaru Andrea Hirata, “Padang Bulan dan Cinta dalam Gelas” adalah teman penghibur di tengah padatnya gerak lari kehidupan Ibukota, di dalam tak hentinya perdebatan teologi-filosofis yang aku ikuti. Ya, ingin sedikit kuberbagi, di tengah kesempatan ini pula, aku ingin membagi mengenai kopi!



Teman-teman terdekatku pasti sudah tahu kalau aku sangat suka kopi. Sejak umur 12 tahun aku sudah suka kopi. Kopi apa pun aku sukai. Dahulu kala, aku sering meminum secangkir kopi bersama ayahku ditemani papan catur, sungguh itu adalah momen yang tak akan kulupakan! Nah, lalu apa hubungannya novel Andrea Hirata dengan kopi? Tak lain, karena buku kedua “Cinta Dalam Gelas”-nya, menceritakan satu tokoh, Ikal, yang bekerja sebagai pelayan di warung kopi. Yang kemudian, menciptakan studi kultural dan antropologikal, hanya berdasarkan cara orang minum kopi! Aku enggan untuk menceritakan seluruh isi novel ini, aku menyarankan kalian membacanya sendiri, apalagi bagi mereka yang menikmati kopi. Oh ya, terus terang, dwilogi ini mengandung beberapa hal yang aku cintai di muka bumi ini: kopi, belajar, dan permainan catur!


Nah, daripada terus-terusan memuji novel ini, aku ingin kalian menyimak sepenggal puisi dalam novel ini, judulnya:


Peluk.

Disebabkan karena kau terlalu malu

Dengan penuh gengsi kau berbalik,

dia pun berlalu

Rasakan itu olehmu, sekarang baru kau tahu

Bahwa semua keindahan di dunia ini

berkelebat dengan cepat

dan hukum-hukum Tuhan ditulis

sebelum telepon dibuat

Orang-orang indah yang kautemukan di pasar,

Stasiun, terminal, dan tikungan

Kekasih, kemewahan mutiara raja brana,

Kemilau galena dan intan berlian

Semuanya akan meninggalkanmu

Kecuali secangkir kopi

Dia ada di situ, tetap di situ, hangat,

dan selalu dapat dipeluk



Perhatikan, baik-baik. Betapa memaknanya barisan puisi ini. Tidak ada yang bisa setia di muka bumi ini. Kekasih hati, wanita yang kepadanya kita akan selalu merindu, atau pria yang pada hatinya jiwa kita berpaut, bisa meninggalkan kita semena-mena. Tanpa ampun. Membuat letupan-letupan kepedihan di dalam hati. Menolak untuk dipeluk, memberontak untuk digenggam. Ya, kekasih, seperti kata Andrea, akan meninggalkanmu. Apa lagi? Semua keindahan di dunia ini, berkelebat dengan cepat! Memang demikian, dari usia yang muda, tiba-tiba kita dewasa, menjadi tua, kemudian layu, kusut tak mampu lagi berjalan untuk menantang dunia. Kekuatan tubuh pun akan meninggalkan kita. Harta? Apa lagi. Sedemikian cepat mendekapnya, sedemikian cepat ia bisa saja hendak melarikan diri dari kita. Semua, semua, dan semua, bisa saja tiba-tiba meninggalkan kita. Sahabat terdekat pun, bisa membuat kita terlarut dalam kesendirian, ketika ia meninggalkan kita, untuk mengurusi hidupnya sendiri. Semuanya akan meninggalkanmu.


Tidak demikian dengan secangkir kopi. Dia ada di situ, tetap di situ, hangat, dan selalu dapat dipeluk. Memang sedikit hiperbol! Namun bagi pecinta kopi, ini adalah fakta yang tak terbantahkan. Secangkir kopi, bisa mewarnai hidup ini. Jika hidup ini sedang pahit, secangkir kopi pahit akan menjadi teman yang membuat lara itu terlewati. Jika hati tak bersemangat untuk bekerja dan menjejakkan kaki dalam ruang kehidupan yang penat, kafein yang ada dalam kopi, akan memberikan efek yang cukup selama 15 menit, untuk kembali membakar raga melawan kehidupan.


Ya, kafein, yang adalah senyawa kimia alkaloid, yang dinamakan dengan nama ilmiah: trimentilsantin, berfungsi untuk membalikkan senyawa adenosin. Senyawa adenosin, adalah senyawa yang punya efek “membuat malas” pada tubuh manusia, untuk punya keinginan cepat tidur, memperlambat kinerja saraf otak, dan membuat tubuh merasa lelah. Kafein membalikkan fungsi itu, membuat saraf menjadi segar, memacu produksi hormon adrenalin, mata terbuka, jantung menjadi berdegup kencang. Tekanan darah naik, otot-otot berkontraksi, dan hati akan melepas gula ke aliran darah menjadi energi ekstra untuk bekerja! Mantap bukan?


Hangatnya secangkir kopi akan membuat hati yang gelisah menjadi tentram. Bahkan, sebagai social drink, kopi bisa menjadi kawan ngobrol dengan sahabat-sahabat, sembari mencari jawaban bersama-sama atas berbagai macam pergumulan hidup. Itulah kopi. Dan perhatikan baik-baik, secangkir kopi tidak akan meninggalkan kita. Ia akan bersedia untuk dipeluk hangatnya, tak akan pergi sampai ia habis masuk ke dalam kerongkongan. Ia akan terus disitu, menemani kita sebagai kawan baik, mungkin, mendengarkan keluh-kesah hidup kita. Itulah yang terjadi dalam hidupku. Di tengah kesendirian di malam hari, kopi adalah kawan baik. Kopi adalah inspirasi malah, kata seorang kawan. Kukutip lagi Andrea: “Hanya segelas kopi yang tak pernah banyak tingkah!” Memang benar, segelas kopi akan selalu duduk setia, menemani penggemarnya. Tak banyak tingkah, hanya memberikan semangat melalui kafein yang terkandung di dalamnya. Pujaan hati bisa saja mengecewakan kita, sahabat bisa saja mengecewakan kita, keluarga juga bisa saja mengecewakan kita. Tetapi, secangkir kopi yang diracik sesuai dengan keinginan hati, diramu dengan takaran kopi dan gula yang pas, tak akan pernah mengecewakan kita.


Demikianlah jika kita punya Tuhan. Yesaya 4: 46 menuliskan “Sampai masa tuamu Aku tetap Dia dan sampai masa putih rambutmu aku menggendong kamu. Aku telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus; aku mau memikul kamu dan menyelamatkan kamu”

Itulah janji Tuhan dalam kehidupan umat percaya. Tidak akan pernah meninggalkan kita, bahkan ketika raga kita tak lagi mampu berdiri melayani. Tidak akan pernah mengecewakan kita, walau sering kita mengecewakan Dia. Kutemukan sedikit persamaan kopi dengan salah satu karakter Tuhan. Dia ada di situ, tetap di situ, hangat, dan selalu dapat dipeluk. Tuhan selalu setia bersama-sama dengan kita, dengan hangat, memeluk kita dengan dekapan yang erat, membua hati manusia selalu tenteram di tengah pergolakan badai hidup! Kalau demikian adanya, sungguh, mengapa kita perlu takut menjalani kehidupan ini? Mengapa kita perlu lesu untuk menderu kencang dalam perlombaan kehidupan ini? Sebagaimana kopi dengan kafeinnya, Tuhan, adalah Sosok yang terus berdiri bersama-sama dengan kita, memberikan semangat, agar kita menyelesaikan tugas yang Ia berikan bagi setiap kita di dunia ini. Senyawa adenosin, bisa disamakan dengan keputus asaan, kepahitan hati, kekecewaan, dan banyak hal yang lain, yang membuat hidup jadi tak bersemangat. Kesadaran bahwa Tuhan bersama-sama dengan kita seharusnya mampu membalikkan itu semua. Membuat kita menjadi manusia yang tegak berdiri menantang hidup!


Ya, itulah, kaitan antara novel terbaru Andrea Hirata, kopi dan teologi. Mengapa aku memberi judul demikian dalam notes ini? Mestinya kawan-kawan sudah mengerti. Mari bersama-sama terus menyeruput kopi, mencari inspirasi, mencari kekuatan yang dari pada-Nya untuk setiap kita!

Sebelum berakhir, ingin kusitir lagi kalimat Andrea: “Adapun mereka yang sama sekali tidak minum kopi adalah penyia-nyia hidup ini.” Walah! Siapa diantara kawan-kawan yang belum minum kopi? Andrea memvonis bahwa saudara-saudara adalah orang yang menyia-nyiakan hidup ini! Alamak! Betapa ternistanya orang yang hidup dengan sia-sia! He he he..


Salam hangat dari Taman Tanah Abang 3, Jakarta Pusat.

The True Evangelical Faith


Selama ini aku mencoba merenungkan, apa yang disebut "Injili". dan ketika aku berada di gereja Mennonite. Aku temukan jawabannya, singkat, namun padat mengena. Jawaban dari seorang Menno Simmons. Inilah mengapa aku akhir-akhir ini menggemakan teologi mennonite. Coba perhatikan syair dari lagu "The True Evangelical Faith" karyanya,

True evangelical faith cannot lie dormant.
It clothes the naked.
It feeds the hungry.
It comforts the sorrowful.
It shelters the destitute.
It serves those that harm it.
It binds up that which is wounded.
It has become all things to all people."


Ya, itulah Iman Injili yang sejati. Bukan hanya bicara aspek-aspek doktrinal, yang seringkali membosankan, namun bertindak dalam praksis menurut Yesus dari Nazaret, Tuhan, Guru dan junjungan kita!


Salam dari Taman Tanah Abang 3, Jakarta Pusat,

Permenungan Eksistensial 3; Pagar, Batasan dan Kesenjangan

Aku makan siang di luar hari ini. Tak mau jauh-jauh, lokasi makan hanya di seberang gereja. Memang, aku bisa memesan makanan dan membawanya masuk kantor gereja. Namun, entah mengapa, siang itu aku ingin makan di luar. Di tengah debu dan polusi Jakarta. Di tengah orang-orang asing, yang sedang merehatkan diri mereka sejenak dari penat pekerjaan. Aku duduk diam sendirian, sambil menghirup manisnya es jeruk. Sebagaimana yang selalu terjadi di waktu-waktu refleksi sendirian seperti ini. Ada realitas yang terimajinasi di alam pikiran. Ada kesadaran yang menapaki jiwa dan kehidupan.

Gereja, dipagari oleh pagar besi setinggi dua meter. Menghalangi orang masuk, dan mengambil barang-barang gereja. Dimana-mana, apalagi di kota besar, sering gereja membentengi diri dengan tembok atau pagar tinggi. Memang demikianlah fungsinya, pagar sebagai pembatas. Pembatas, agar mereka yang di dalam bisa hidup dengan aman dan nyaman. Pembatas, agar mereka yang di luar tak bisa masuk dan mengganggu. Fungsi asalinya nampaknya telah tergapai penuh.

Namun, ada realitas lain yang terungkap di dalam pagar pembatas itu. Dua dunia yang terpisah jauh. Dunia religius gereja. Dunia sekularitas yang nyata. Kontras? Memang demikian. Di gereja, mereka yang ada di dalamnya seolah hidup dengan “damai sejahtera.” Persekutuan doa, ibadah, puji-pujian, penyembahan, apalah. Sepertinya, ada rentang jauh antara kehidupan mereka yang ada di dalam gereja dengan the other, liyaning liyan, mereka yang berbeda, karena hidup di dunia “luar.” Dunia sekularitas, hidup di dalam perputaran waktu dan keadaannya sendiri. Mungkin, sudah tak terlalu peduli lagi dengan Tuhan, agama, dan religiusitas. Benarkah ada kesenjangan antara dua dunia ini? Nampaknya memang demikian. Istilah teologis-filosofis apa yang dapat merangkumkan kondisi ini? Aku tidak tahu.

Karena itulah, kadang-kadang, aku ragu untuk terus bergerak dan menjadi dalam komunitas gereja. Namun, pada faktanya gereja punya kekuatan yang cukup besar untuk memulai pergerakan perubahan revolusioner di dunia ini. Kesenjangan antara dua dunia itu bisa diselesaikan, dengan gereja memakai kekuatan tersembunyinya untuk melakukan “sesuatu.” Sesuatu yang bukan sekedar didasari teologi retribusi kuno abad pertengahan itu. Tapi, berdasarkan semangat Yesus, semangat yang diungkapkan-Nya dalam hidup-Nya, salah satunya, dengan keberadaan meja egalitarian yang Ia wujudkan. Semangat yang berjuang untuk membawakan “Tuhan” di dalam dunia nyata. Maukah gereja bergerak dalam langkah kongkrit, dan bukan abstraksi teoritis, sebagaimana yang selama ini tergambar dalam jurnal-jurnal teologi, mau pun mimbar-mimbar gereja, untuk dapat mengatasi kesenjangan dua dunia ini? “Religious leader, always has a big influence, to interrupting the people, about how can, or how must the people or person, knows their God and what they do with that.” Tulisku –dengan perbubahan- di status Facebook beberapa waktu yang lalu. Jelaslah bagi kita, tugas pemimpin religius-lah, melakukan dan menyadarkan itu semua. Bagaimana?

Saturday, June 5, 2010

On The Road; Jakarta, 6 Juni


Hari ini aku mengikuti pelayanan bagi-bagi nasi bungkus sekitar 200-an kepada orang-orang yang hidup di jalanan, mereka yang tidur di kolong-kolong jembatan dan emperan toko adalah sasaran utama pelayanan ini. Bagi-bagi nasi bungkus (yang dikerjakan sendiri, bersama dengan teman-teman, sehingga sepanjang malam kami harus lembur), dimulai pada pukul 14.00 siang. Hujan yang turun di bumi Ibukota yang penat ini tidak menyurutkan tekad kami untuk melakukan pelayanan yang sudah mendapatkan dukungan penuh dari gereja ini. Team kami yang terdiri 5 orang pun berangkat.

Secara pribadi, hatiku bergelora dengan amat sangat, karena sejak memahami bahwa Yesus dari Nazaret yang aku ikuti adalah seorang manusia yang punya perhatian pada kondisi sosial-ekonomi-politik pada masanya, aku bertekad untuk mengikuti Dia sepenuh-penuhnya dengan melakukan praksis hidup yang seturut dengan jalan yang Ia telah tempuh. Pelayanan kali ini bisa jadi sebuah langkah awal untuk melakukan sesuatu yang lebih besar di masa depan. Sesuatu yang telah kurindukan sejak berbulan-bulan yang lalu semenjak membaca buku karangan Richard Horsley, Jesus and Empire. Serta membuat esay untuk Perkantas, yang berjudul "Visi Komunitas Alternatif aLa Yesus dari Nazaret." Dan dilanjutkan pula dengan karya-karya Moltmann. Hatiku terus bekerja bersama dengan rasio ku untuk terus memikirkan, dengan jalan bagaimana iman Kristen bisa mematahkan, memutarbalikkan sistem dominasi, sistem yang membuat adanya dosa struktural, yakni kemiskinan, ketidakadilan sosial, kondisi yang menguntungkan bagi kaum kaya, dan merugikan kaum miskin. Sistem yang terlampau berpihak kepada penindasan dan tidak pernah berpihak kepada mereka yang tertindas, Mereka yang liyan, mereka yang terpinggirkan, mereka yang tak diperhatikan, mereka selalu tertindas dan teraniaya. Sehingga, iman Kristen, -dalam hal ini, gereja- benar-benar bisa menghadirkan Kerajaan Allah, shalom bagi semua umat manusia yang ada di muka bumi ini! Bagiku, gereja yang hampir selalu menekankan "surga di atas sana", belum cukup perhatian untuk memikirkan hal tersebut. Seminari teologi juga rasa-rasanya tak acuh, untuk mendidik mahasiswanya memiliki kesadaran dan perhatian bagi mereka, the other, mereka yang tertindas dan teraniaya.

Kami pun mulai menyusuri jalanan-jalanan Ibukota, membagi-bagikan nasi bungkus itu kepada ibu-ibu yang ada di perempatan lampu merah. Bapak-bapak yang disebut "manusia gerobak", yakni pemulung. Anak-anak jalanan yang tinggal di kolong jembatan. Satu keluarga yang tinggal di emperan toko juga sempat kami kunjungi. Sungguh, hatiku menangis dengan amat pedih ketika melihat wajah mereka. Wajah yang tak punya pengharapan, kawan mereka adalah sakit-penyakit. Ada satu anak yang cacat bernama Eva, yang sedang sakit campak. Hatiku meringis ketika kami akan pulang dan ia minta agar aku mendoakannya. Bibirku bergetar ketika aku mendoakannya, dan dalam hati aku bertanya, "Tuhan, mengapa harus mereka!." Sungguh, kalau bukan kita yang turun tangan, siapa lagi?! Melihat sekeliling mereka, nyata-nyata bahwa hidup dan mati mereka akan berakhir di situ. Tak akan beranjak dari kolong jembatan, tak akan beranjak dari emperan toko. Entah, sampai keturunan keberapa mereka akan menjadi korban dari sistem ekonomi Kapitalis yang melanda negara kita!

Rabi Yahudi revolusioner abad pertama itu pernah mengatakan, ”Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku (Matius 25:4). " Kalimat retoris dari Sang Guru itu menunjukkan bahwa ketika orang-orang yang mengaku murid-Nya, melakukan sesuatu bagi mereka yang tertindas dan teraniaya, berarti mereka sedang melakukan sesuatu bagi Dia sendiri. Hatiku semakin rindu untuk melakukan sesuatu yang lebih besar bagi mereka, kaum tertindas dan teraniaya. Hatiku semakin rindu, untuk menemukan cara, bagaimana kultur dominasi yang menjajah negeri ini dapat dilawan!

Jujur saja, menurutku, ketika gereja melakukan sesuatu bagi mereka, kaum tertindas dan teraniaya, masih berada di permukaan. Ketika Natal, Paskah dan momen-momen yang lain, gereja memang sering melakukan tindakan bakti sosial, ya, sejenis dengan bagi-bagi nasi bungkus tadi. Tapi semestinya gereja perlu melakukan lebih jauh daripada itu! Lebih jauh daripada sekedar memberitakan: “Yesus, Juruselamat Dunia, kalau anda percaya kepada-Nya, anda akan masuk surga.” Itu memang tujuan yang mungkin paling fundamental. Tapi seperti yang pernah kutulis dalam notesku sebelumnya yang berjudul “Yesus:Transformasi”. Tidaklah cukup dengan mewartakan Yesus dengan dasar teologi pendamaian-subtisuti-retribusi! Transformasi yang dikerjakan di dalam nama Yesus, melalui praksis gereja, juga harus menangkap aspek kehidupan manusia secara keseluruhan. Mengangkat mereka yang tertindas, hingga mendapatkan hidup yang bermartabat, sederajat, dan mampu berjalan tegak di samping manusia-manusia yang lain!

Entah, jalan apa yang gereja harus tempuh untuk mengatasi hal demikian, dan mencapai apa yang kumaksud di atas: yakni adanya Transformasi secara keseluruhan! Mungkin, perubahan paradigma berteologi gereja dan jemaat, adalah satu dasar yang perlu diupayakan! Karena akar dari sejumlah praksis adalah sebuah ideologi. Kini, di tengah kegalauan dan kebingungan hati, aku mengundang kita semua untuk berupaya memikirkanya!

This is My Way; I Love My Way

Sudah.., sudah ku katakan (sudah ku katakan)
Sudah.., sudah ku jelaskan (sudah ku jelaskan)


Dari dahulu aku memang suka jalan ini
Tak perlu kau tanyakan lagi mau kemana
Segala problema, juga resikonya kan kuhadapi
Jangan rayu lagi untuk mencoba jalan yang lain


This is my way.. (This is my way)
I love my way.. (I love my way)
This is my way.. (This is my way)
I love my way.. (I love my way)


Dari dahulu aku memang suka jalan ini
Tak perlu kau tanyakan lagi mau kemana
Segala problema, juga resikonya kan kuhadapi
Jangan rayu lagi untuk mencoba jalan yang lain


This is my way.. (This is my way)
I love my way.. (I love my way)
This is my way.. (This is my way)
I love my way.. (I love my way)


Sudah.. (This is my way)
Sudah ku katakan (sudah ku katakan)
Sudah.. (This is my way)
Sudah.. (sudah ku jelaskan)
Sudah ku jelaskan (sudah ku jelaskan)
This is my way.. (this is my way)
I love my way (I love my way)
This is my way.. (this is my way)
I love my way (I love my way)


Barusan aku Download lagu Reggae dari Tony Q Rastafara ini. Ternyata, di kala hati sedang gundah gulana mengenai jalan hidup yang sedang kutempuh, Legenda Reggae Indonesia itu menghibur lara, dan memberi seutas jawab yang membesarkan hati. Bayangkan, Reggae adalah jenis musik yang asing di telinga masyarakat Indinesia, tapi (barangkali) Tony Q tetap menempuh jalur aliran musik yang demikian, karena ia sadar, bahwa ia mencintai jalan hidup, jalur musik yang sangat ia cintai. Hingga ia mengatakan: "Dari dahulu aku memang suka jalan ini. Tak perlu kau tanyakan lagi mau kemana. Segala problema, juga resikonya kan kuhadapi.Jangan rayu lagi untuk mencoba jalan yang lain. Akh! Inspiring banget deh!

Setiap manusia mempunyai jalan hidup yang ia pilih masing-masing. Jalan hidup itu adalah jalan yang terbaik yang paling mungkin untuk mengekspresikan identitas diri dari seorang manusia. Jalan hidup terbaik untuk menyatakan eksistensi Das Sein di tengah dunianya. Bagiku, aku sudah memilih sebuah jalan, jalan yang berat, jalan yang terlampau berbeda dengan dunia. Jalan itu adalah jalan dari Yesus orang Nazaret. Menjadi pengikut Yesus, yang aku akui sebagai Tuhan dan Juruselamat, adalah pilihan yang telah aku tentukan, dan aku tidak mau ragu lagi dengan jalan ini. ya, I Love My Way Jalan ini, sebagaimana dalam notes sebelumnya, adalah jalan yang berupaya untuk mengupayakan satu hal: adanya Transformasi Kehidupan!. Adanya perbaikan hidup umat manusia. Adanya pertobatan, yakni kembalinya manusia ke wajah Allah. Kembalinya manusia dari sikap-sikap individualis, sikap egoistis, sikap yang mengisap manusia yang lain, dan mencari keuntungan bagi dirinya sendiri, menuju sikap hidup yang berlandaskan kepada kasih, egaliterian, keadilan dan kebenaran. Sungguh! This is My Way!

Jadi, adakah diantara pembaca yang sedang kebingungan bagaimana menempuh hidup di dunia, dengan tangan terbuka aku mengundang kalian untuk bersama-sama dengan aku, menempuh jalan hidup yang berlandaskan praksis Yesus dari Nazaret! Jalan yang (menurutku) terbaik demi masa depan dunia!

Dan, jika ada pembaca yang bersama-sama dengan aku, menempuh jalan yang sama, mari kita tak perlu ragu lagi dengan jalan yang kita pilih. Jalan hidup yang berlandaskan praksis dan prinsip etis transformatif Yesus dari Nazaret. Mari mengingat Rasul Paulus yang tak pernah ragu akan panggilan hidupnya mengikut Yesus dari Nazaret. Bayangkan ketika ia hendak pergi ke Yerusalem, dimana ia terancam nyawanya oleh musuh-musuhnya, namun dengan tegas Rasul Paulus mengatakan:
"Tetapi aku tidak menghiraukan nyawaku sedikit pun, asal saja aku dapat mencapai garis akhir dan menyelesaikan pelayanan yang ditugaskan oleh Tuhan Yesus kepadaku untuk memberi kesaksian tentang Injil kasih karunia Allah" KPR 20:24.

Ya, sebagaimana Rasul Paulus yang terus menghidupi Jalan Yesus Kristus, mari bersama-sama menegakkan hati untuk terus bertekun di dalam panggilan. Panggilan untuk mentransformasi dunia!
Ada banyak godaan untuk berpaling dari jalan ini. Tapi, jika kita, yang mencintai jalan ini, yang mencintai Yesus yang adalah Tuhan kita (sebagaimana lagu Tony Q di atas), tak perlu kita ragu, tak perlu kita goyah, resiko apa pun, akan kita tempuh! pengorbanan apa pun, akan kita lakukan. Semuanya demi jalan yang kita lalui, dan yang kita pillih, jalan yang kita cintai. The Way of Jesus Christ -The Crucified God-.

So, Let's sing the song: This is My Way! I Love My Way!

Friday, April 16, 2010

Yesus: Tranformasi


Dipikir-pikir, kok begitu banyak sekali ya literatur yang membahas mengenai Yesus. Entah itu dari sisi konservatif atau yang dianggap 'kiri' sekali pun. Dipikir-pikir lagi, apa sih inti pokok diskusi mengenai Yesus? Keilahian Yesus? Kemanusiaan Yesus? Atau apa? Kupikir-pikir, inti pokok diskusi mengenai Yesus dari Nazaret, yang diimani gereja Purba sebagai Christos dan Kyrios, adalah mengenai satu hal: transformasi! Ya, kerinduan akan transformasi, kerinduan mengenai perubahan yang dapat dialami oleh umat manusia. Transformasi yang akan mengantarkan dunia menjadi tempat yang lebih baik untuk ditinggali. Transformasi ini, bisa dimulai dari sisi mana pun dari pesan Yesus. Baik melalui interpretasi yang penekanannya terdapat pada pesan revolusi sosial, revolusi politik, atau bahkan revolusi institusi religius sebagaimana teolog-teolog Historical Jesus kontemporer. Mau pun, melalui interpretasi doktrin soteriologi substitusi-retribusi a la teologi konservatif. Bagi ku muara dari diskusi mengenai Yesus cuma mengarah kepada satu hal: Transformasi kehidupan.

Inilah mengapa nama Yesus perlu diberitakan!

Friday, February 12, 2010

Sebuah tulisan pendek: Mari melakukan eksegesis PB!


Semester ini aku mendapatkan mata kuliah yang sudah kutunggu sejak semester lalu, Eksegesis Perjanjian Baru! Ya, seiring minatku yang semakin bertambah kepada perkembangan teologi Perjanjian Baru, serta perdebatan dan diskusi yang berlangsung seru dikalangan sarjana-sarjana biblika, membuatku merasa bahwa aku harus benar-benar menguasai skill eksegesis PB. Bersyukur, karena semester ini metode eksegesis PB yang dipakai adalah historik-gramatik yang aku masih mengakuinya sebagai pendekatan yang masih bisa dipertanggungjawabkan dalam menelaah Kitab Suci.

Namun, akhir-akhir ini aku sedikit gelisah juga, mendengar kabar dari kawan-kawanku satu angkatan, yang merasa berat sekali menjalani mata kuliah ini, tugasnya begitu banyak, dan menuntut keuletan serta kesabaran (jelas, aku juga merasa demikian!), apalagi ada oknum-oknum yang acapkali mengatakan: "kasihan ya masta mereka, eksegese PBnya repot, harus lihat ini lah, langkah-langkahnya banyak lah, padahal nilainya juga belum tentu memuaskan", lebih jengkel lagi ketika ada yang berkata: "buat apa susah-susah buat eksegese PB yang seperti begituan, nanti ketika pelayanan di jemaat juga ga akan terpakai", huh! baunya pragmatis sekali!

Maka dari itu aku ingin mengungkapkan beberapa hal, mengapa kita memerlukan eksegesis Perjanjian Baru:

1. Kitab Suci(KS) ditulis di dalam konteks sosio-budaya mereka sendiri. Tidak mungkin pembaca modern membaca KS tanpa menyelidiki terlebih dulu sosio-budayanya. Jika itu dilakukan, maka makna yang ditimbulkan, tidaklah akurat sesuai dengan apa yang penulis inginkan. Pembaca harus menjembatani kesenjangan-kesenjangan yang ada antara teks yang berada di jaman kuno, dengan pembaca yang berada di jaman ini. Kesenjangan itu dapat berupa banyak hal, baik itu aspek bahasa, budaya, dan kondisi masyarakat. Eksegese PB adalah alat untuk menjembatani kesenjangan-kesenjangan itu. Dengan melakukan eksegesis maka kita bisa mendapatkan makna yang asali, yang berasal dari penulis teks KS mula-mula. Meskipun, harus tetap diakui bahwa terdapat kemustahilan untuk menggapai makna absolut yang terdapat dalam teks tersebut.

2. Eksegesis PB dapat dipakai sebagai alat evaluasi pemahaman kita terhadap teologi Kristen. Bayangkan, jika kita bisa memahami apa yang penulis maksud dalam konteks aslinya. Maka, kita dapat menyimpulkan, dan mengambil perspektif teologis yang biblis dan dapat dipertanggungjawabkan untuk dapat diaplikasikan bagi masa kini. Misalkan, ketika kita mengeksegese surat-surat Paulus, yang membicarakan isu gender, rasial, dan gereja, tentu hasil kesimpulan eksegesis kita akan dapat dipakai untuk melihat apakah teologi atau pun perspektif etika yang kita pakai sudah sejalan dengan penulis (Paulus) alkitab dalam melihat isu-isu diatas. Bahkan pemahaman doktrinal, tentang Allah, pribadi Kristus, keselamatan, surga dan neraka pun, dapat dievaluasi kembali melalui studi eksegesis ayat-ayat yang dipakai untuk pengajaran doktrin-doktrin tersebut.

Memang, kebanyakan orang takut untuk mengkritisi KS, masakan Alkitab yang adalah firman Allah itu dikritik-kritik? Pandangan ini harus disisihkan, karena bukankah kritis adalah awal untuk memahami pengetahuan yang lebih benar dan akurat? Kritis terhadap KS akan membuat kita lebih memahami apa yang KS ingin katakan, jauh melampaui dogma-dogma yang seringkali menyelubungi pembacaan kita terhadap KS, jauh melampaui presaposisi doktrinal yang menghegemoni penafsiran dan pemahaman kita terhadap KS.

Bayangkan saja, betapa pentingnya eksegesis bagi seorang teolog, hingga Karl Barth (yang notabene, dicap sesat, dalam kaitan atas pandangan bibliologinya) di dalam pesan terakhirnya, yang dikutip oleh Gordon Fee, dalam buku New Testament Exegesis mengatakan: "Jadi dengarlah sepenggal nasihat saya: eksegesis, eksegesis, dan lagi eksegesis! Bertekunlah kepada Firman, kepada kitab suci yang telah diberikan kepada kita." Wah terus terang, teolog favorit saya yang satu itu selalu memukau hati saya dengan kata-kata, dan pemikirannya. Di tempat yang lain, dalam buku Church Dogmatics-nya, ia juga sempat mengatakan bahwa teologi itu indah, jelas, eksegesis pun akan jadi hal yang indah. Karl Barth saja, menyadari kebutuhan untuk terus mempelajari KS, terus melakukan eksegesis terhadap KS, lalu bagaimana dengan pembaca?

Menyitir dosen Perjanjian Baru saya: "dalam studi, seringkali kita mengalami kesulitan, tetapi jika kesulitan itu diperlukan untuk semakin memahami firman Tuhan, semakin mengenal Tuhan Yesus, kesulitan itu tidak akan terasa sama sekali, karena mempelajari firman Tuhan sungguh hal yang sangat indah".

Jadi, apa yang harus kita lakukan? tidak ada yang ingin aku katakan selain: Mari mengeksegesis Perjanjian Baru!!
buat mastaku: ayooooooo,.. semmmannnngaaaaaaaaaaat!!!

Soli Deo Gloria!

Tuesday, February 9, 2010

Lelah kepada yang naif



Sering kudapati diriku lelah berlari di dalam komunitas ini.
Betapa mereka adalah kumpulan-kumpulan kenaifan yang hanya menyenangkan diri.
Menuntut aku untuk jadi seperti mereka.
Jika tidak, maka aku diharuskan pergi, menyingkir dan tertindas.

Sering kudapati diriku sepi menyendiri tak berteman dan tak bersahabat.
Tiada seorang pun mengerti betap rindunya hati untuk menggapai kebenaran.
Mereka cuma mampu menuduh aku sesat! bidat! miring! dan gila.
Aku kesal, sungguh teramat kesal, karena bukan logika dan otak yang mereka pakai
Namun, hegemoni ideologi yang mencoba mengakuisisi segala pemikiran kreatif,
Yang hanya mencoba untuk memperbaiki hidup.

Tidakkah mereka naif??
Aku lelah,
Aku menangis dalam kepedihan dan sepinya diri.
Menanti yang Ilahi datang dan menguatkan hati.

Jika lelah, aku hanya mampu berhenti, dan memandang salib Kristus yang mulia itu
agar Ia, menguatkan aku kembali.

Friday, February 5, 2010

sebuah puisi dari Rabi Abraham Joshua Heschel: untuk sobat.

"To a Lady in a Dream"

Grant me a breath
A finger's touch;
for a thousand hours of yearning
give me on word!

I dreamt of you through all my youth,
through all my youth, fenced off from you---
and my dream aches so much.
I owe to you my immense yearning--
and beg of you: Rescue my dream!

Your eyes are grettings from God.
Your body-- an oasis in the world
joy for my homeless glances.
Your legs are trees of desire
in the gardens of quitest delights.

I searched for you iin dreams in the night.
You never came to my unforgettable desires.
Yet stubbornly the dreams swore: You are there!
some day you shall belong to me:
But like a student at a test,
I now stand mute before you.

I've come with showcase--words boldly to your heart,
Astonished, looking through your eyes
as through the shattered windows of my dream--
I've forgotten my arrows, forgotten my bows. . .
forgive me, beloved, my chaotic silence!

Grant me a breath,
a finger touch;
for a thoushand hours of yearning,
give me one word!

Dalam The Ineffable Name of God; Man


Seorang sahabatku menantikan jawaban cinta dari wanita yang dikasihinya. Give me one word! katanya. Berikan sebuah jawaban yang akan menjelaskan kegelisahan hati yang selama ini mengusik diri! Dan semoga jawabannya adalah: ya! Tapi sayang, ia yang tulus, yang tanpa pamrih, yang menolak kesombongan diri, yang tak berhenti untuk menjadi pribadi apa adanya, mengalami kepedihan hati. Cintanya tertolak, tertolak karena apa? aku tak tahu, yang pasti Lady in a dream-nya memedihkan hatinya. Memang, kadang (sering?) dunia tidak bersahabat dengan manusia yang mencoba bertindakan jujur dan apa adanya. Tak mengapa, itulah kehidupan. Barangkali rodanya ada di bawah.

Akh! Selamat berjuang menghadapi hidup sobat!

Friday, January 22, 2010

sekedar tulisan pendek: komunitas resistensi.



Baru-baru ini aku membaca sebuah buku karya Richard Horsley: Jesus and Empire, yang merupakan kelanjutan bacaan dari bukunya yang terdahulu Paul and Empire, serta REligion and Empire. Karya yang mutakhir, dan kritis terhadap keadaan global dunia masa kini yang dikuasai oleh Imperium Kapitalis Amerika Serikat. Memberikan sebuah alternatif masyarakat yang berpegang pada prinsip Yesus dari Nazaret, yaitu komunitas kerajaan Allah, komunitas Ekklesia, komunitas yang mendasarkan diri kepada prinsip kasih, egaliterian, non-individualistik, yang teosentrika, serta gagasan akan hadirnya keadilan dan pengampunan. Idea dan gagasan petani dari Galilea yang hidup dalam era Yudaisme Abad Pertama. Ketika Israel, umat plihan Allah dijajah dan ditindas oleh Imperium Roma, Lelaki bersandal yang dianggap tak berarti oleh kawan dan kerabat-Nya sendiri. Yesus memberikan gagasan akan sebuah komunitas yang memberikan resistensi terhadap Imperium Roma yang bekuasa saat itu, komunitas alternatif yang subversif, namun tidak berjuang melalui jalur kekerasan, tapi malah nir-kekerasan! Dan ini dibuktikan melalui kematian-Nya di kayu Salib, membuktikan prinsip anti- kekerasan yang diberikan-Nya! Tidakkah pesan dan amanat Yesus sungguh lebih besar daripada gagasan kaum Sosialis-Marxist, atau pun gagasan-gagasan demokratik yang utopis itu!


Akhir-akhir ini aku menyadari, aku hidup dalam komunitas itu. Mastaku adalah bagian tersendiri di dalam komunitas itu, keluarga ekklesia yang memprinsipkan diri dalam relasi saling mengasihi. Tak egositik, selaiknya dunia di sekitar mereka. Tak antroposentrik, bagaikan dunia yang hidup semaunya sendiri. Aku menulis sekedar tulisan pendek ini. Untuk menyemangati sahabat-sahabat dan keluarga ku di tempat ini. Dalam menyambut semester baru, dan tantangan yang silih berganti menerpa diri, tak pernah kita perlu takut dalam menghadapinya. Karena kita punya komunitas! Komunitas Kerajaan Allah yang saling mendukung dan memelihara kasih Ilahi yang sejati! Komunitas yang memberikan kedamaian dan keamanan yang sejati, dan tidak semu! Karena damai dan keamanannya berasal dari Allah sendiri.

Semoga dalam semester baru ini, komunitas resistensi itu semakin terlihat, dalam koreksi yang berdasarkan pengampunan dan perhatian, dalam kritik dan penghiburan yang terlintas satu dengan yang lain. Membangun jati diri setiap anggota, menjadi semakin serupa dengan KRistus yang dibangkitkan, membangun sebuah komunitas, yang berlandaskan pengharapan akan kerajaan Allah yang akan mengalami kepenuhannya ketika parousia terjadi..


Wahai kawan, selamat menyambut semester genap!

Laieus Deus!