Saturday, June 5, 2010

On The Road; Jakarta, 6 Juni


Hari ini aku mengikuti pelayanan bagi-bagi nasi bungkus sekitar 200-an kepada orang-orang yang hidup di jalanan, mereka yang tidur di kolong-kolong jembatan dan emperan toko adalah sasaran utama pelayanan ini. Bagi-bagi nasi bungkus (yang dikerjakan sendiri, bersama dengan teman-teman, sehingga sepanjang malam kami harus lembur), dimulai pada pukul 14.00 siang. Hujan yang turun di bumi Ibukota yang penat ini tidak menyurutkan tekad kami untuk melakukan pelayanan yang sudah mendapatkan dukungan penuh dari gereja ini. Team kami yang terdiri 5 orang pun berangkat.

Secara pribadi, hatiku bergelora dengan amat sangat, karena sejak memahami bahwa Yesus dari Nazaret yang aku ikuti adalah seorang manusia yang punya perhatian pada kondisi sosial-ekonomi-politik pada masanya, aku bertekad untuk mengikuti Dia sepenuh-penuhnya dengan melakukan praksis hidup yang seturut dengan jalan yang Ia telah tempuh. Pelayanan kali ini bisa jadi sebuah langkah awal untuk melakukan sesuatu yang lebih besar di masa depan. Sesuatu yang telah kurindukan sejak berbulan-bulan yang lalu semenjak membaca buku karangan Richard Horsley, Jesus and Empire. Serta membuat esay untuk Perkantas, yang berjudul "Visi Komunitas Alternatif aLa Yesus dari Nazaret." Dan dilanjutkan pula dengan karya-karya Moltmann. Hatiku terus bekerja bersama dengan rasio ku untuk terus memikirkan, dengan jalan bagaimana iman Kristen bisa mematahkan, memutarbalikkan sistem dominasi, sistem yang membuat adanya dosa struktural, yakni kemiskinan, ketidakadilan sosial, kondisi yang menguntungkan bagi kaum kaya, dan merugikan kaum miskin. Sistem yang terlampau berpihak kepada penindasan dan tidak pernah berpihak kepada mereka yang tertindas, Mereka yang liyan, mereka yang terpinggirkan, mereka yang tak diperhatikan, mereka selalu tertindas dan teraniaya. Sehingga, iman Kristen, -dalam hal ini, gereja- benar-benar bisa menghadirkan Kerajaan Allah, shalom bagi semua umat manusia yang ada di muka bumi ini! Bagiku, gereja yang hampir selalu menekankan "surga di atas sana", belum cukup perhatian untuk memikirkan hal tersebut. Seminari teologi juga rasa-rasanya tak acuh, untuk mendidik mahasiswanya memiliki kesadaran dan perhatian bagi mereka, the other, mereka yang tertindas dan teraniaya.

Kami pun mulai menyusuri jalanan-jalanan Ibukota, membagi-bagikan nasi bungkus itu kepada ibu-ibu yang ada di perempatan lampu merah. Bapak-bapak yang disebut "manusia gerobak", yakni pemulung. Anak-anak jalanan yang tinggal di kolong jembatan. Satu keluarga yang tinggal di emperan toko juga sempat kami kunjungi. Sungguh, hatiku menangis dengan amat pedih ketika melihat wajah mereka. Wajah yang tak punya pengharapan, kawan mereka adalah sakit-penyakit. Ada satu anak yang cacat bernama Eva, yang sedang sakit campak. Hatiku meringis ketika kami akan pulang dan ia minta agar aku mendoakannya. Bibirku bergetar ketika aku mendoakannya, dan dalam hati aku bertanya, "Tuhan, mengapa harus mereka!." Sungguh, kalau bukan kita yang turun tangan, siapa lagi?! Melihat sekeliling mereka, nyata-nyata bahwa hidup dan mati mereka akan berakhir di situ. Tak akan beranjak dari kolong jembatan, tak akan beranjak dari emperan toko. Entah, sampai keturunan keberapa mereka akan menjadi korban dari sistem ekonomi Kapitalis yang melanda negara kita!

Rabi Yahudi revolusioner abad pertama itu pernah mengatakan, ”Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku (Matius 25:4). " Kalimat retoris dari Sang Guru itu menunjukkan bahwa ketika orang-orang yang mengaku murid-Nya, melakukan sesuatu bagi mereka yang tertindas dan teraniaya, berarti mereka sedang melakukan sesuatu bagi Dia sendiri. Hatiku semakin rindu untuk melakukan sesuatu yang lebih besar bagi mereka, kaum tertindas dan teraniaya. Hatiku semakin rindu, untuk menemukan cara, bagaimana kultur dominasi yang menjajah negeri ini dapat dilawan!

Jujur saja, menurutku, ketika gereja melakukan sesuatu bagi mereka, kaum tertindas dan teraniaya, masih berada di permukaan. Ketika Natal, Paskah dan momen-momen yang lain, gereja memang sering melakukan tindakan bakti sosial, ya, sejenis dengan bagi-bagi nasi bungkus tadi. Tapi semestinya gereja perlu melakukan lebih jauh daripada itu! Lebih jauh daripada sekedar memberitakan: “Yesus, Juruselamat Dunia, kalau anda percaya kepada-Nya, anda akan masuk surga.” Itu memang tujuan yang mungkin paling fundamental. Tapi seperti yang pernah kutulis dalam notesku sebelumnya yang berjudul “Yesus:Transformasi”. Tidaklah cukup dengan mewartakan Yesus dengan dasar teologi pendamaian-subtisuti-retribusi! Transformasi yang dikerjakan di dalam nama Yesus, melalui praksis gereja, juga harus menangkap aspek kehidupan manusia secara keseluruhan. Mengangkat mereka yang tertindas, hingga mendapatkan hidup yang bermartabat, sederajat, dan mampu berjalan tegak di samping manusia-manusia yang lain!

Entah, jalan apa yang gereja harus tempuh untuk mengatasi hal demikian, dan mencapai apa yang kumaksud di atas: yakni adanya Transformasi secara keseluruhan! Mungkin, perubahan paradigma berteologi gereja dan jemaat, adalah satu dasar yang perlu diupayakan! Karena akar dari sejumlah praksis adalah sebuah ideologi. Kini, di tengah kegalauan dan kebingungan hati, aku mengundang kita semua untuk berupaya memikirkanya!

1 comment:

Anonymous said...

wowwowowow... sngt menginspirasi....
yang jelas kita memang harus peduli dengan kehidupan sosial, secara langsung ataupun tak langsung kehidupan sosial membentuk diri kita.
apa yang telah kita tanam adalah apa yang kita petik nantinya
GBU