Monday, June 28, 2010

Antara Andrea Hirata, Kopi dan Tuhan





Sejak kemarin aku membaca dan menghabiskan novel terbaru dari salah satu sastrawan Indonesia yang aku kagumi: Andrea Hirata. Ya, aku suka membaca. Dari buku teologi yang bersifat abstraksi, sampai novel-novel roman, sentimentil, serta spiritual. Ayu Utami, Dewi Lestari, dan Andrea Hirata sendiri, adalah sebagian dari penulis Indonesia yang aku sukai. Ditengah penatnya memikirkan teologi ilmiah dan teologi jemaat yang tak kunjung usai, membaca buku-buku mereka bisa menjadi petualangan spiritual alternatif bagi diriku sendiri. Kali ini, isi buku dwilogi terbaru Andrea Hirata, “Padang Bulan dan Cinta dalam Gelas” adalah teman penghibur di tengah padatnya gerak lari kehidupan Ibukota, di dalam tak hentinya perdebatan teologi-filosofis yang aku ikuti. Ya, ingin sedikit kuberbagi, di tengah kesempatan ini pula, aku ingin membagi mengenai kopi!



Teman-teman terdekatku pasti sudah tahu kalau aku sangat suka kopi. Sejak umur 12 tahun aku sudah suka kopi. Kopi apa pun aku sukai. Dahulu kala, aku sering meminum secangkir kopi bersama ayahku ditemani papan catur, sungguh itu adalah momen yang tak akan kulupakan! Nah, lalu apa hubungannya novel Andrea Hirata dengan kopi? Tak lain, karena buku kedua “Cinta Dalam Gelas”-nya, menceritakan satu tokoh, Ikal, yang bekerja sebagai pelayan di warung kopi. Yang kemudian, menciptakan studi kultural dan antropologikal, hanya berdasarkan cara orang minum kopi! Aku enggan untuk menceritakan seluruh isi novel ini, aku menyarankan kalian membacanya sendiri, apalagi bagi mereka yang menikmati kopi. Oh ya, terus terang, dwilogi ini mengandung beberapa hal yang aku cintai di muka bumi ini: kopi, belajar, dan permainan catur!


Nah, daripada terus-terusan memuji novel ini, aku ingin kalian menyimak sepenggal puisi dalam novel ini, judulnya:


Peluk.

Disebabkan karena kau terlalu malu

Dengan penuh gengsi kau berbalik,

dia pun berlalu

Rasakan itu olehmu, sekarang baru kau tahu

Bahwa semua keindahan di dunia ini

berkelebat dengan cepat

dan hukum-hukum Tuhan ditulis

sebelum telepon dibuat

Orang-orang indah yang kautemukan di pasar,

Stasiun, terminal, dan tikungan

Kekasih, kemewahan mutiara raja brana,

Kemilau galena dan intan berlian

Semuanya akan meninggalkanmu

Kecuali secangkir kopi

Dia ada di situ, tetap di situ, hangat,

dan selalu dapat dipeluk



Perhatikan, baik-baik. Betapa memaknanya barisan puisi ini. Tidak ada yang bisa setia di muka bumi ini. Kekasih hati, wanita yang kepadanya kita akan selalu merindu, atau pria yang pada hatinya jiwa kita berpaut, bisa meninggalkan kita semena-mena. Tanpa ampun. Membuat letupan-letupan kepedihan di dalam hati. Menolak untuk dipeluk, memberontak untuk digenggam. Ya, kekasih, seperti kata Andrea, akan meninggalkanmu. Apa lagi? Semua keindahan di dunia ini, berkelebat dengan cepat! Memang demikian, dari usia yang muda, tiba-tiba kita dewasa, menjadi tua, kemudian layu, kusut tak mampu lagi berjalan untuk menantang dunia. Kekuatan tubuh pun akan meninggalkan kita. Harta? Apa lagi. Sedemikian cepat mendekapnya, sedemikian cepat ia bisa saja hendak melarikan diri dari kita. Semua, semua, dan semua, bisa saja tiba-tiba meninggalkan kita. Sahabat terdekat pun, bisa membuat kita terlarut dalam kesendirian, ketika ia meninggalkan kita, untuk mengurusi hidupnya sendiri. Semuanya akan meninggalkanmu.


Tidak demikian dengan secangkir kopi. Dia ada di situ, tetap di situ, hangat, dan selalu dapat dipeluk. Memang sedikit hiperbol! Namun bagi pecinta kopi, ini adalah fakta yang tak terbantahkan. Secangkir kopi, bisa mewarnai hidup ini. Jika hidup ini sedang pahit, secangkir kopi pahit akan menjadi teman yang membuat lara itu terlewati. Jika hati tak bersemangat untuk bekerja dan menjejakkan kaki dalam ruang kehidupan yang penat, kafein yang ada dalam kopi, akan memberikan efek yang cukup selama 15 menit, untuk kembali membakar raga melawan kehidupan.


Ya, kafein, yang adalah senyawa kimia alkaloid, yang dinamakan dengan nama ilmiah: trimentilsantin, berfungsi untuk membalikkan senyawa adenosin. Senyawa adenosin, adalah senyawa yang punya efek “membuat malas” pada tubuh manusia, untuk punya keinginan cepat tidur, memperlambat kinerja saraf otak, dan membuat tubuh merasa lelah. Kafein membalikkan fungsi itu, membuat saraf menjadi segar, memacu produksi hormon adrenalin, mata terbuka, jantung menjadi berdegup kencang. Tekanan darah naik, otot-otot berkontraksi, dan hati akan melepas gula ke aliran darah menjadi energi ekstra untuk bekerja! Mantap bukan?


Hangatnya secangkir kopi akan membuat hati yang gelisah menjadi tentram. Bahkan, sebagai social drink, kopi bisa menjadi kawan ngobrol dengan sahabat-sahabat, sembari mencari jawaban bersama-sama atas berbagai macam pergumulan hidup. Itulah kopi. Dan perhatikan baik-baik, secangkir kopi tidak akan meninggalkan kita. Ia akan bersedia untuk dipeluk hangatnya, tak akan pergi sampai ia habis masuk ke dalam kerongkongan. Ia akan terus disitu, menemani kita sebagai kawan baik, mungkin, mendengarkan keluh-kesah hidup kita. Itulah yang terjadi dalam hidupku. Di tengah kesendirian di malam hari, kopi adalah kawan baik. Kopi adalah inspirasi malah, kata seorang kawan. Kukutip lagi Andrea: “Hanya segelas kopi yang tak pernah banyak tingkah!” Memang benar, segelas kopi akan selalu duduk setia, menemani penggemarnya. Tak banyak tingkah, hanya memberikan semangat melalui kafein yang terkandung di dalamnya. Pujaan hati bisa saja mengecewakan kita, sahabat bisa saja mengecewakan kita, keluarga juga bisa saja mengecewakan kita. Tetapi, secangkir kopi yang diracik sesuai dengan keinginan hati, diramu dengan takaran kopi dan gula yang pas, tak akan pernah mengecewakan kita.


Demikianlah jika kita punya Tuhan. Yesaya 4: 46 menuliskan “Sampai masa tuamu Aku tetap Dia dan sampai masa putih rambutmu aku menggendong kamu. Aku telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus; aku mau memikul kamu dan menyelamatkan kamu”

Itulah janji Tuhan dalam kehidupan umat percaya. Tidak akan pernah meninggalkan kita, bahkan ketika raga kita tak lagi mampu berdiri melayani. Tidak akan pernah mengecewakan kita, walau sering kita mengecewakan Dia. Kutemukan sedikit persamaan kopi dengan salah satu karakter Tuhan. Dia ada di situ, tetap di situ, hangat, dan selalu dapat dipeluk. Tuhan selalu setia bersama-sama dengan kita, dengan hangat, memeluk kita dengan dekapan yang erat, membua hati manusia selalu tenteram di tengah pergolakan badai hidup! Kalau demikian adanya, sungguh, mengapa kita perlu takut menjalani kehidupan ini? Mengapa kita perlu lesu untuk menderu kencang dalam perlombaan kehidupan ini? Sebagaimana kopi dengan kafeinnya, Tuhan, adalah Sosok yang terus berdiri bersama-sama dengan kita, memberikan semangat, agar kita menyelesaikan tugas yang Ia berikan bagi setiap kita di dunia ini. Senyawa adenosin, bisa disamakan dengan keputus asaan, kepahitan hati, kekecewaan, dan banyak hal yang lain, yang membuat hidup jadi tak bersemangat. Kesadaran bahwa Tuhan bersama-sama dengan kita seharusnya mampu membalikkan itu semua. Membuat kita menjadi manusia yang tegak berdiri menantang hidup!


Ya, itulah, kaitan antara novel terbaru Andrea Hirata, kopi dan teologi. Mengapa aku memberi judul demikian dalam notes ini? Mestinya kawan-kawan sudah mengerti. Mari bersama-sama terus menyeruput kopi, mencari inspirasi, mencari kekuatan yang dari pada-Nya untuk setiap kita!

Sebelum berakhir, ingin kusitir lagi kalimat Andrea: “Adapun mereka yang sama sekali tidak minum kopi adalah penyia-nyia hidup ini.” Walah! Siapa diantara kawan-kawan yang belum minum kopi? Andrea memvonis bahwa saudara-saudara adalah orang yang menyia-nyiakan hidup ini! Alamak! Betapa ternistanya orang yang hidup dengan sia-sia! He he he..


Salam hangat dari Taman Tanah Abang 3, Jakarta Pusat.

No comments: