Semester ini aku mendapatkan mata kuliah yang sudah kutunggu sejak semester lalu, Eksegesis Perjanjian Baru! Ya, seiring minatku yang semakin bertambah kepada perkembangan teologi Perjanjian Baru, serta perdebatan dan diskusi yang berlangsung seru dikalangan sarjana-sarjana biblika, membuatku merasa bahwa aku harus benar-benar menguasai skill eksegesis PB. Bersyukur, karena semester ini metode eksegesis PB yang dipakai adalah historik-gramatik yang aku masih mengakuinya sebagai pendekatan yang masih bisa dipertanggungjawabkan dalam menelaah Kitab Suci.
Namun, akhir-akhir ini aku sedikit gelisah juga, mendengar kabar dari kawan-kawanku satu angkatan, yang merasa berat sekali menjalani mata kuliah ini, tugasnya begitu banyak, dan menuntut keuletan serta kesabaran (jelas, aku juga merasa demikian!), apalagi ada oknum-oknum yang acapkali mengatakan: "kasihan ya masta mereka, eksegese PBnya repot, harus lihat ini lah, langkah-langkahnya banyak lah, padahal nilainya juga belum tentu memuaskan", lebih jengkel lagi ketika ada yang berkata: "buat apa susah-susah buat eksegese PB yang seperti begituan, nanti ketika pelayanan di jemaat juga ga akan terpakai", huh! baunya pragmatis sekali!
Maka dari itu aku ingin mengungkapkan beberapa hal, mengapa kita memerlukan eksegesis Perjanjian Baru:
1. Kitab Suci(KS) ditulis di dalam konteks sosio-budaya mereka sendiri. Tidak mungkin pembaca modern membaca KS tanpa menyelidiki terlebih dulu sosio-budayanya. Jika itu dilakukan, maka makna yang ditimbulkan, tidaklah akurat sesuai dengan apa yang penulis inginkan. Pembaca harus menjembatani kesenjangan-kesenjangan yang ada antara teks yang berada di jaman kuno, dengan pembaca yang berada di jaman ini. Kesenjangan itu dapat berupa banyak hal, baik itu aspek bahasa, budaya, dan kondisi masyarakat. Eksegese PB adalah alat untuk menjembatani kesenjangan-kesenjangan itu. Dengan melakukan eksegesis maka kita bisa mendapatkan makna yang asali, yang berasal dari penulis teks KS mula-mula. Meskipun, harus tetap diakui bahwa terdapat kemustahilan untuk menggapai makna absolut yang terdapat dalam teks tersebut.
2. Eksegesis PB dapat dipakai sebagai alat evaluasi pemahaman kita terhadap teologi Kristen. Bayangkan, jika kita bisa memahami apa yang penulis maksud dalam konteks aslinya. Maka, kita dapat menyimpulkan, dan mengambil perspektif teologis yang biblis dan dapat dipertanggungjawabkan untuk dapat diaplikasikan bagi masa kini. Misalkan, ketika kita mengeksegese surat-surat Paulus, yang membicarakan isu gender, rasial, dan gereja, tentu hasil kesimpulan eksegesis kita akan dapat dipakai untuk melihat apakah teologi atau pun perspektif etika yang kita pakai sudah sejalan dengan penulis (Paulus) alkitab dalam melihat isu-isu diatas. Bahkan pemahaman doktrinal, tentang Allah, pribadi Kristus, keselamatan, surga dan neraka pun, dapat dievaluasi kembali melalui studi eksegesis ayat-ayat yang dipakai untuk pengajaran doktrin-doktrin tersebut.
Memang, kebanyakan orang takut untuk mengkritisi KS, masakan Alkitab yang adalah firman Allah itu dikritik-kritik? Pandangan ini harus disisihkan, karena bukankah kritis adalah awal untuk memahami pengetahuan yang lebih benar dan akurat? Kritis terhadap KS akan membuat kita lebih memahami apa yang KS ingin katakan, jauh melampaui dogma-dogma yang seringkali menyelubungi pembacaan kita terhadap KS, jauh melampaui presaposisi doktrinal yang menghegemoni penafsiran dan pemahaman kita terhadap KS.
Bayangkan saja, betapa pentingnya eksegesis bagi seorang teolog, hingga Karl Barth (yang notabene, dicap sesat, dalam kaitan atas pandangan bibliologinya) di dalam pesan terakhirnya, yang dikutip oleh Gordon Fee, dalam buku
New Testament Exegesis mengatakan: "Jadi dengarlah sepenggal nasihat saya: eksegesis, eksegesis, dan lagi eksegesis! Bertekunlah kepada Firman, kepada kitab suci yang telah diberikan kepada kita." Wah terus terang, teolog favorit saya yang satu itu selalu memukau hati saya dengan kata-kata, dan pemikirannya. Di tempat yang lain, dalam buku C
hurch Dogmatics-nya, ia juga sempat mengatakan bahwa teologi itu indah, jelas, eksegesis pun akan jadi hal yang indah. Karl Barth saja, menyadari kebutuhan untuk terus mempelajari KS, terus melakukan eksegesis terhadap KS, lalu bagaimana dengan pembaca?
Menyitir dosen Perjanjian Baru saya: "dalam studi, seringkali kita mengalami kesulitan, tetapi jika kesulitan itu diperlukan untuk semakin memahami firman Tuhan, semakin mengenal Tuhan Yesus, kesulitan itu tidak akan terasa sama sekali, karena mempelajari firman Tuhan sungguh hal yang sangat indah".
Jadi, apa yang harus kita lakukan? tidak ada yang ingin aku katakan selain: Mari mengeksegesis Perjanjian Baru!!
buat mastaku:
ayooooooo,.. semmmannnngaaaaaaaaaaat!!!
Soli Deo Gloria!
1 comment:
Refleksi yang bagus, Sam Himawan. Tetap semangat, ya. Belajar Kitab yang berfungsi sebagai "kendaraan firman" meski sukar tentulah indah-berfaedah. Oya, saya tertarik lho Sam gemar membaca Barth kendati beliau dicap sesat oleh ...
Hmmm, dia Reformed kan? Barangkali malah teolog Reformed alias Calvinis terbesar Abad XX. Mungkin bukan sesat, tapi berbeda dari Calvinisme-konservatif warisan Skolastisisme Protestan Abad XVII-XVIII (yang bermuara pada Old Princeton Theology Abad XIX dan awal Abad XX). Btw, trims ya untuk pendirianmu untuk tidak bersikap pragmatis tapi prinsipiil. Ini anak kunci emas untuk para teolog-hamba pengabdi Gusti Yesus dan Pemerintahan-Nya. Maturnuwuuun...
Salam,
K RA
Post a Comment